MENEMUKAN KEBAHAGIAAN DALAM KEKOSONGAN
Jajang Fauzi
Seperti bait kedua pada puisi “Gadis Tuli”, seisi kepala ini rasanya sesak dengan berbagai pikiran-pikiran yang berhasil membuat saya sulit tidur. Setelah saya membaca dan mencoba memahami setiap puisi yang dibuat Ine, pada akhirnya saya membentur sebuah kekosongan demi kekosongan. Kosong ini bukan berarti nol, tetapi ujung dari puisi-puisi ini secara imajinatif membawa saya menuju kekosongan dalam diri saya sendiri. Saya tidak menemukan kebahagiaan saat dan setelah membacanya. Pengalaman ini tidaklah mungkin sama dengan perspektif pembaca yang lain yang mungkin dari segi pengalaman bernalar yang berbeda.
Kekosongan ini bukanlah sebuah kebuntuan, tapi merupakan peluang-peluang yang bisa jadi tidak dapat kita prediksi ke mana arah dari puisi-puisi itu berlabuh. Sebaliknya, dugaan-dugaan yang tercipta justru menjadi hal menarik, mengingat setiap orang pada akhirnya akan menemukan akhir dari kekosongannya masing-masing. Sayangnya hal itu masih belum bisa sepenuhnya saya rasakan. Tapi untung masih ada beberapa puisi yang sedikit mengobati perasaan dan pikiran saya ini.
Zeno, seorang peganut aliran Stoaisme pernah mengatakan bahwa untuk mencapai sebuah kebahagiaan manusia harus harmoni terhadap dunia dan dirinya sendiri. Jika hal tersebut kita titik beratkan pada puisi, maka sebuah puisi akan nikmat apabila mampu menyelaraskan diksi-diksi dengan keadaan dan suasana dalam puisinya sehingga pembaca mampu menikmati dan ikut terhanyut ke dalam puisi.
Saya menemukan beberapa persoalan yang pikiran saya hadapi.
. . .
Pertalian jaya binasa
Diteluk atma
Menjadi bait-bait
Pujian kepada tuhan
. . .
(Doa Seorang Pendosa)
Puisi ini bagus secara ide maupun gagasan, tapi penyelesaiannya perlu dimatangkan kembal. Dua baris akhir itu saya akui sangat menggugah, tapi sayangnya di dua baris awal malah menjadi pemecah imajinasi saya. Penggunaan kata-kata arkais atau istilah sebenarnya tidak disalahkan dalam puisi. Tapi jika berangkat dari kata yang sederhana sepertinya akan lebih bisa cepat diterima oleh pikiran kita. Terlebih untuk kata yang memang bersifat tidak absolut dan tidak nampak seperti jiwa, masa, zaman dan lain sebagainya nampaknya akan lebih sulit dipahami. Atas dasar itulah mengapa pemilihan kata yang tepat dapat sangat berdampak besar pada puisi.
Terlepas dari beberapa hal yang saya utarakan sebelumnya, Ine sudah berhasil mengalihkan perasaan, pengalaman bahkan naluri liarnya menjadi apa yang bisa kita nikmati dan rasakan saat ini. Puisi-puisi Ine, sekilas dapat saya tafsirkan merupakan metafora perjalanan dan kesehariannya menjadi manusia dengan pengolahan sudut pandang yang berbeda-beda. Ini cerdas. Untuk seorang perempuan yang pada umumnya sering terjebak dalam perasaanya sendiri ‒mungkin sebagian. Hal ini seolah membalik perspektif saya sebagai pembaca bahwa di luar dari kematangan puisi, penulisan ejaan dan hal lainnya, gagasan serta ide dari ternyata Ine cukup menyegarkan. Penempatan sudut pandang dan gaya penulisannya mungkin suatu saat bisa menjadi ciri khas di kemudian hari.
Saya sangat menatikan puisi-puisi baru dari penulis setelah tulisan ini dipublikasikan. Sebab puisi tak akan pernah selesai selama peradaban terus ada. Sebab puisi tak akan binasa selagi manusia masih mencari-cari keberadaan tuhannya, dan puisi akan selalu ada untuk mereka yang meluapkan bahagia atau dendam terpendam.
Ciamis, 2024