Kota Kelahiran Abadi
Karya Hana Nurhasanah
Tasik yang berbisik
Penuh dengan gugusan bukit
Cerita terus kurakit
Oh tasik
Tempatku memuaskan kehidupan
Menyusuri suaka hidangan
Dengan alas kayu nan elok
Berjalan dengan tenang
Ketika rintik datang
Ketika panas menyengat
Payung setia melindungi diri
Warisan leluhur yang rendah hati
Akal budi membuat hati terpikat
Tarian anggun membuat mata tak berkedip
Namamu harum nan indah
Membuaku semakin betah
Kutitipkan sepucuk tulisan
Menjadi saksi dalam kehidupan
Bau Politik Tak Antik
Karya Hana Nurhasanah
Bumi bangsa berisik
Manusia terjun Merajarela
Menyantapi nikmat politik
Seakan harap ingin cepat naik
Semua tak antik
Permainan tak cantik dilalui
Apapun mereka daki
Etika tersisihkan
Gaya menjadi terdepan
Tahta yang elok menjadi pegangan
Kenyataan tak seenak manisan
Ingin antik
Tapi manipulatif
Ingin berjasa
Tapi hanya banyak basi
Bau yang menyengat Tanpa pasti
ASMARA
Karya Hana Nurhasanah
Laksana purnama
Menghapus kegelapan
Mencabik luka
Membuat tak merana
layaknya cendana
Kau nyata
Memberikan harum sukma tanpa nestapa
Hinggaku terpikat
Hadir sebagai bentara
Memberi isyarat
Serentak terikat
Menghanyutkan asa
Sukma buncah
Lenyap seketika
Mustahil berbalik
ILUSI
Karya Hana Nurhasanah
Tak kan terlupa
Mengajari arti hidup
Memberi nasehat tak pernah redup
Ada namun tak nampak
Satu rasa namun tak bersama
Dilangit yang sama
Namun tak dapat kuraba
Berjarak langit bumi
Namun kau berarti
Tak berwujud namun mewarnai hidup
Menjadi petunjuk ketika perahu tersesat
Menjadi pengingat disetiap saat
Selalu setia disetiap dekap
Engkau tak tahu
Betapa istimewa dihidupku
Datang tanpa dinanti
Penyejuk hati
Selalu terilusi
Tanpa henti
Kapan kita bertumpu dititik temu
Tak tahan kumenunggu
Tiap gemerlap bintang
Kumerindu cahaya indahmu
Yang membuatku termangu
Selalu ada dibenakku
Kepergiamu membekas syahdu
Datang kan menjadi pereda rindu
Berharap
Meski kesibukan melanda
Jarang tegur sapa
Namun do'a
DI BAWAH LANGIT GELAP
Karya Hana Nurhasanah
Diruang keheningan
Alam memeluk penuh
Riuhan angin tak henti
Saksi bisu meniti hati
Dikala diri hampa
Sukma ternodai
Semesta menemani
Tanpa henti
Dibawah langit gelap
Bulan menata hati
Meski nan jauh
Dingin masih menyelimuti
Manusia menatap langit sama
Alam dan semesta menyelinap
Tak disadari
Tak disyukuri
Apakah kau buta?
Terkadang berkhianat
Membuat semesta runtuh Menangis riuh
Apa kau tak peduli?
BISING
Karya Hana Nurhasanah
Sukma menjerit
Karsa berbisik
Suaka pelik
Ilusi mendesak
Raga tuk pergi
Batin merisik
Tetaplah bertahan
Dunia dihiasi kesengsaraan
Dunia dihiasi kenikmatan
Ujungnnya lenyap
SANDIWARA REALITAS
Karya Hana Nurhasanah
Setiap orang punya peran
Setiap orang punya tabiat
Dunia ibarat sandiwara
Semua berbeda
Semua punya beban
Tuk menjalankan syariat
Kian terlupa
Hakikat hidup
Realita berucap
Mereka unik
Tak akan ada yang sama
Tak kan ada yang serupa
Kian terlupa
Bahwa dirinya berharga Tipuan dunia
Membuat buta
Angan-angan hidup selamanya Hanyalah dusta
Pada akhirnya
Kematian kan melanda
Merima, Mengejar, nan Memaksa
Oleh Azis Fahrul Roji
Persoalan Susunan
Begitu banyak harapan dan ide-ide yang muncul dalam ‘kepala’ Hana Nurhasanah. Ia berusaha menjadi ‘aku’. Ia berusaha menjadi ‘manusia’. Ia berusaha menjadi ‘masyarakat.’ Ia berusaha menjadi ‘warga negara’. Saya berharap Anda yang membaca tulisan ini dapat mencermati bagaimana pola repetitif yang coba saya bangun dari rangkaian kalimat tersebut. Apakah Anda setuju dengan pola urutan yang demikian? Sudah tepatkah saya mengurutkan variabel-variabel tersebut? Ada yang tertukar urutannya? Dan jika Anda mencermati apa yang saya tulis di bagian judul, saya mencoba membuat pola judul yang “memaksa”.
Dari kedua permasalahan tersebut, barangkali Anda dapat merumuskan betapa tidak nyamannya kita membaca tulisan yang rancang bangunnya seakan dipaksakan berdiri. Dan nikmat mana lagi yang Anda dustakan ketika membaca tulisan dengan gagasan yang runtut?
Sukma menjerit
Karsa berbisik
Suaka pelik
Ilusi mendesak
Raga tuk pergi
Batin merisik
Tetaplah bertahan
(Puisi “Bising”)
Bait pada puisi Bising tersebut menjadi gambaran urutan yang kurang tepat secara rasa dan irama. Pola akhir menjerit, berbisik, pelik, dibatasi Ilusi mendesak // Raga tuk pergi sehingga, Batin merisik seolah bukan bagian dari kesatuan gagasan yang sudah dibangun dengan pola rima yang sama pada awal baitnya. Untuk mencapai kemegahan rasa pada puisi, penulis perlu mengingat pola piramida. Entah piramida dengan bentuk yang tetap untuk mencapai ledakan rasa. Atau piramida terbalik untuk mencapai hunjaman rasa.
Kejadian berkenaan dengan pola repetitif juga hadir pada puisi “Bau Politik Tak Antik”
Bumi bangsa berisik
Manusia terjun merajarela
Menyantapi nikmat politik
Seakan harap ingin cepat naik
Semua tak antik
Permainan tak cantik dilalui
Apapun mereka daki
Jika memang Hana ingin mengejar rima, ia telah keliru menempatkan kata ‘merajalela’ di antara susunan yang terbangun atas rima berisik, politik, dan naik. Saya mencoba mengandai, jika kata menukik akan lebih nyaman digunakan sebagai bentuk pengganti merajalela dan secara makna pun saya rasa akan lebih kuat menopang kata sebelum, dan baris sesudahnya.
***
Ketidakonsistenan
Diruang keheningan
Alam memeluk penuh
Riuhan angin tak henti
Saksi bisu meniti hati
(Puisi “Di Bawah Langit Gelap”)
Terdapat ketidakkonsistenan dalam pengungkapan suasana pada penggalan bait tersebut. Imajinatif tentang ‘ruang hening’ yang penulis bangun, harus runtuh dengan munculnya narasi angin yang riuh tanpa henti. Jika yang dipersoalkan adalah suasana hening yang tiba-tiba riuh oleh angin (mungkin merujuk pada perasaan yang tidak karuan) perlu adanya gambaran kedatangan angin yang membuat riuh ruang hening tersebut sehingga terjadi gambaran suasana yang utuh.
Hasna Nurhasanah dengan kekayaan materi dan pandangannya, belum mampu menempatkan diri secara lebih dalam pada puisinya. Padahal bagi saya, ‘keakuan’ pengarang dapat menjadi identitas yang kuat, menjadi ruh, yang mampu mengajak pembaca untuk ikut merasakan suasana yang dibangun. Dengan kata lain, pada puisi yang menggambarkan dirinya, Hasna tidak menuntaskan narasi tentang dirinya. Sebagai bentuk konkret saya temukan pada penggalan “Di Bawah Langit Gelap”
…
Dibawah langit gelap
Bulan menata hati
Meski nan jauh
Dingin masih menyelimuti
Manusia menatap langit sama
Alam dan semesta menyelinap
Tak disadari
Tak disyukuri
Apakah kau buta?
…
Pada mulanya, seolah penulis menggambarkan perasaannya sendiri yang saya kira akan dituntaskan sampai akhir dari puisi tersebut. Namun, ia ternyata mengundang isu lain, dalam hal ini “Manusia” yang telah memutus gagasan tentang ‘aku’. Bagi saya, seorang penulis perlu menyelesaikan satu isu dalam satu puisi tanpa harus menciptakan isu lainnya. Puisi akan nikmat jika ia tumbuh, tetapi puisi akan hambar jika ia (di)tambah(i). Biarkan isu-isu awal tumbuh tanpa harus mengundang/menambah isu-isu lain dari luar.
Namun, perlu saya sampaikan bahwa Hasna adalah bagian dari manusia beruntung yang memiliki daya tampung gagasan yang cukup kaya. Penyampaian banyak hal dalam satu puisi akan menjadi catatan bagi jalan kepenyairannya di kemudian hari. Saya harap Hasna mampu menyadari makna puisi yang tumbuh dan mampu menghindari puisi yang