Bertempat di Langgam Coffee and Book, komunitas Langgam Pustaka Indonesia menggelar sebuah bincang buku berjudul Dari Guru Tasikmalaya untuk Guru Indonesia pada Minggu sore, 11 Februari 2024. Buku Dari Guru Tasikmalaya untuk Guru Indonesia adalah sebuah buku yang lahir dari inisiasi guru-guru Kota dan kabupaten Tasikmalaya yang tergabung dalam sebuah forum Guru Menulis, atau biasa dikenal dengan sebutan forum Gumeulis. Buku tersebut berisi kumpulan tulisan dari 30 orang guru yang mencurahkan kegelisahan serta gagasannya dalam menyikapi isu pendidikan di Indonesia.
Dalam Bincang Buku rutinan Langgam Pustaka Indonesia tersebut, hadir juga Vudu Abdulrahman sebagai seorang tokoh pendidikan di Kota Tasikmalaya yang selama bertahun-tahun fokus menggeluti isu-isu pendidikan. Selain Kang Vudu, bincang buku tersebut juga turut dihadiri oleh Dosen Inspiratif Kota Tasikmalaya, Bapak Asep M. Tamam yang dikenal sebagai pelopor dari banyaknya komunitas atau forum literasi yang semakin bergeliat di Tasikmalaya.
Pola pendidikan Indonesia yang mengarah pada sistem digitalisasi seharusnya tak meninggalkan aspek Humanis yang melekat pada tubuh guru maupun murid sebagai seorang manusia, sebuah kalimat dari sekian banyak gagasan yang tercetus dari Vudu Abdulrahman dalam sesi diskusi tersebut menyadarkan para peserta diskusi yang hadir, bahwasanya pendidikan haruslah memanusiakan manusia itu sendiri. Jika berkaca pada wajah pendidikan kita hari ini, jelas ungkapan Vudu Abdulrahman tersebut adalah sebuah realita, pil pahit yang harus dengan legowo kita terima. Bukti sederhananya adalah ketika penguasa negeri ini silih berganti, maka berubahlah pula sistem, konsep, bahkan kerangka pendidikan Indonesia. Jika selalu demikian, maka kita selalu memulai dari nol. Selalu, tambah Vudu.
Pada sisi lain, Bapak Asep M. Tamam menyoroti betapa pentingnya peran seorang Guru ketika mereka menulis. Sampai sekarang, saya tak pernah mengetahui secara pasti apakah manfaatnya Guru menulis, selain pengaruh yang benar-benar terasa pada para murid dan lingkungannya. Itu merupakan sebuah motivasi, akan menumbuhkan kepercayaan diri, bahwa setiap guru memiliki hak untuk menyampaikan gagasannya lewat tulisan dan karya. Dalam hal ini, Bapak Asep M. Tamam seolah tengah menguliti betapa tak berdayanya para guru di negara kita jika dihadapkan dengan sebuah proses kekaryaan.
Memang, kemajuan suatu negara dapat dilihat dari bagaimana negara tersebut memosisikan Guru dalam struktur sosial dan prioritas. Alasannya sederhana, negara akan melakukan apa pun demi menunjang dan menjamin kehidupan para Guru, sebab negaralah yang sebenarnya selalu membutuhkan guru. Logika tersebut nampak bak langit dan bumi jika kita melihat keadaan guru di Indonesia. Negara, nampaknya terlalu santai ketika mendapati kenyataan bahwa Sarjana lulusan Keguruan semakin melimpah ruah, yang akhirnya menjadikan keadaan bahwa Guru yang membutuhkan negara.
Konsep pendidikan Indonesia sebenarnya sudah punya pondasi kokoh, ketika Ki Hajar Dewantara mencetuskan Tripusat Pendidikan yang seharusnya dijalankan Indonesia. Itu adalah sebuah rencana jangka panjang yang sudah disediakan para pendahulu kita. Kang Vudu menambahkan dengan kelugasan, matanya terlihat semakin berair ketika menyampaikan hal tersebut. Para peserta diskusi menyikapi dengan penuh penghayatan. Ada hal menarik dari apa yang disampaikan Kang Vudu, bahwa sebenarnya konsep Tripusat Kihajar Dewantara telah dijalankan dengan hasil luarbiasa oleh negara-negara maju, seperti Finlandia, Polandia, dan negara-negara maju lainnya.
Kita, telah sama-sama menyaksikan dengan penuh rasa prihatin bagaimana Pendidikan di Indonesia semakin dibawa menjauh oleh arus ketakberpihakan para pemangku kebijakan. Kita, telah sama-sama merasakan bagaimana pendidikan di Indonesia semakin menjauh dari rasa kemanusiaan, menjadikan siswa dan guru sebagai budak administrasi, lalu tak henti-hentinya diteror oleh penyempurnaan demi penyempurnaan Kurikulum yang nyatanya tak menghasilkan apa pun, selain memunculkan kegagapan baru untuk Guru maupun Siswa. Siklus ini terus berulang, membuat sebagian banyak dari mereka menyerah dan kembali ke mode Guru Setelan Pabrik, sementara sebagian kecil sisanya masih berjuang di jalan yang penuh kesunyian.
Agus Salim Maolana