Darasatra XVI | Sepi yang Mati

28/05/2024

 

“Jika sepi itu saya bunuh, apa arwahnya akan gentayangan?”

 

ANDES

             Ternyata patah hati begini rasanya. Ah, bukan, ini bukan suara hati yang patah, tapi suara kelupas sayap yang berguguran jatuh. Semula, hati ini adalah sebentuk roh yang bisa terbang. Dia telah melanglang buana menjemput banyak harapan yang berdiri di pintu-pintu. Pintu itu adalah senyumannya. Pintu itu adalah kalimat-kalimat yang muncul dari bibirnya. Pintu itu adalah wajahnya, gerak tubuhnya, lengannya yang memelukku, semua yang ada pada seorang perempuan bernama Inggit.

          Aku tidak tahu apa yang membuat Inggit memutuskan untuk mengakhiri hubungannya denganku. Tidak, kami tidak pacaran, kami hanya dekat tanpa batasan yang jelas, dan kami pernah hampir bercinta.

***

MENUR

          “Ada yang baru?” tanyaku pada Kresna. Kami mengobrol di chat WhatsApp, seperti malam-malam sebelumnya. Selama hampir tiga minggu terakhir ini.

          “Apa yang baru?”

          “Lagu.”

          “Lagu ciptaan aku?” Kresna mengetik lagi, “Belum ada mood buat menulis lagu.”

          “Kok gitu? Katanya lagi jatuh cinta?”

          “Hahahaha, iya. Kan energiku habis untuk bercinta.”

          Aku pasang emoticon muntah.

          Kresna pasang ikon ketawa ngakak.

          “Siapa wanita malang yang menderita itu?”

          “Anjir emangnya aku bangsad apa, ya, sampe wanita itu menderita?”

          “Ceritain dong!”

          “Gimana, ya...”

          “Ah, kebanyakan mikir, lagian aku enggak kenal sama dia, dia enggak kenal aku. Anggap aja aku lagi mendengarkan cerita radio.”

          “Kamu memang paling bisa kalo ngebujuk.”

          “Gimana?” desakku, sampai akhirnya Kresna menjawab. “Hmmm ...” Begitu ia memulai ceritanya.

***

INGGIT

          Kamar Andes yang berukuran 4 x 3 meter itu terasa sempit, mungkin karena banyaknya barang dan berantakan. Aku enggak ngerti apakah itu stereotip kamar cowok? Kasur yang tergeletak di lantai berkarpet, yang kelihatannya enggak pernah dirapikan, lemari yang udah enggak jelas warna aslinya, kaos oblong yang entah bersih atau kotor. Aku tergerak merapikan beberapa keping CD lagu yang berserakan di karpet. Kulirik Andes yang sedang mengulik games di PC. Kami duduk bersebelahan, di atas kasur yang sekaligus menjadi tempat duduk di depan komputer itu. Segala perabot di ruang kamar ini memang serba berfungsi ganda. Seperti rak TV yang jadi sekat ruangan, atau lemari pakaian yang jadi meja tulis.

          Tuk, tuk! Terdengar ketukan di pintu, sedetik kemudian pintu terbuka. Seorang wanita melongok. Aku mengangguk dan tersenyum hormat.

          “Des, Ibu berangkat ke rumah Bu Epin, ya. Nanti kalau Gani pulang, jangan lupa suruh masukkan motornya ke garasi,” kata wanita itu yang adalah ibunya Andes.

          “Ya, Bu.” Andes menjawab singkat. Setelah ibunya menutup pintu, aku menoleh.

          “Gani ke mana?” Itu aku menanyakan adik Andes.

          “Kelayapan.” Andes menjawab asal-asalan, bangkit dari depan komputer untuk menyalakan kipas angin. Otakku bekerja dengan mudah untuk menyimpulkan bahwa di rumah itu sekarang hanya ada aku dan Andes. Lalu aku bergeser duduk untuk mengulik games yang ditinggalkan Andes.

          “Aduh! Salah jalan!” aku berseru, “ini bentar lagi pasti mati nih!” teriakku panik, melihat layar komputer. Andes segera melesat ke sebelahku dan mengambil alih tetikus.

          “Bukan yang ini... Jangan jalan yang ini dulu,” katanya, dengan wajah yang sangat dekat di sebelah wajahku. Jantungku berdebar kencang? Aku segera menarik tubuhku, menjauh. Sementara Andes meneruskan games komputernya, aku menghempaskan tubuh di kasur, memeluk bantal dan berbalik menghadap tembok, memunggungi Andes. Aku dengan susah payah menghentikan debaran jantung yang barusan. Ada apa denganku, ya? Padahal ini masalah biasa. Hanya wajah kami yang kebetulan berdekatan.          

***

KRESNA

Aku tersenyum mengingat kejadian malam itu. Adalah bukan kali pertama aku merasa gembira bisa menghabiskan malam berbincang bersamanya. Begitu layar komputer mempertemukan kami, aku merasa hangat berbincang dengannya. Dia adalah seorang gadis yang sejak beberapa minggu terakhir aku kenal lewat akun Facebook. Menur cerita padaku kalau ia baru saja membuat akun baru di Facebook karena akun lamanya kena phising, sehingga tidak bisa lagi dia akses.

Aku dan Menur berteman di dunia maya. Kami tak pernah sekali pun bertemu, hanya layar komputer dan layar ponsel yang menghubungkan kami. Jika dilihat dari foto profilnya, dia cukup manis. Aku pernah bertanya apakah benar itu foto asli dirinya, Menur menjawab iya.

Entah kenapa meski baru beberapa minggu kenal, aku bisa bercerita banyak pada Menur. Mungkin, kadang kala, seseorang perlu bercerita tentang sesuatu pada seorang yang ‘tak dikenal’ untuk bisa jujur tentang segala sesuatu. Mungkin dengan mengatakan pada seseorang tentang suatu perasaan bersalah, kebobrokan hati dan rahasia kejahatan, tanpa kuatir dihakimi sebagaimana bila bercerita pada teman yang sudah kita kenal, adalah bentuk kelegaan tersendiri. Maka aku bercerita semua itu kepada Menur.

***

INGGIT

          Sebuah tangan terjulur memelukku. Andes berbaring di belakangku. Aku berbalik dan menatap wajahnya, matanya menatapku aneh. Seperti rindu. Seperti cinta. Seperti sepi. Entahlah, entah. Aku sedang sibuk meredakan detak jantungku sendiri.

          “Lho, games-nya game over, ya?” aku mencoba tertawa. Kering. Tapi Andes tidak memedulikan itu. Ia mendekatkan wajahnya lalu mencium pipiku sekali. Pipiku panas karena ciuman itu.

          “Gara-gara kamu, jadi game over.” Andes beranjak ke atas tubuhku lalu tanpa sempat aku bereaksi, ia menciumiku. Dan seluruh bagian yang diciumnya menjadi terasa panas. Bibir, wajah, leherku, dan kalau sekarang dia mencium dadaku maka dia bisa mendengar suara jantungku! Aku ingin bergerak untuk menepis tangan Andes yang membuka kancing kemejaku. Tapi tak bisa. Aku sibuk, dengan debaran jantungku.

          “Rambut kamu wangi, ya,” bisiknya. Andes bergerak lagi. Aku memejamkan mata, supaya tidak perlu melihat ruangan kamar itu, tidak perlu tahu di mana aku berada saat ini, berusaha terbang ke suatu tempat sejauh mungkin.

          Sampai kemudian sebuah ketukan di pintu kembali terdengar dan menghentikan gerakan Andes di tubuhku, suara ketukan yang menyeretku dari ketinggian, kembali ke kamar Andes. Pintu terbuka, wajah ibu Andes muncul. Kami begitu kaget sampai hampir mati.

          “Des...” kalimat ibunya terhenti, pasti karena ia melihat pemandangan yang ‘istimewa’ saat itu. Andes yang masih ada di atasku dan kemejaku yang sudah tersingkir ke karpet.

          Andes jadi salah tingkah, ia buru-buru bangkit dariku. “Ibu, enggak jadi ke rumah Bu Epin?”

Aku mengambil selimut menutupi bahuku yang terbuka. Aku enggak berani menatap wajah ibu Andes. Entah bagaimana rupaku saat itu. Samar-samar aku dengar perbincangan mereka.

          “Ada yang ketinggalan,” jawab ibu Andes datar. Pasti hatinya tak keruan.

“Ketinggalan apa, Bu?” kata Andes, yang pasti hatinya ketar-ketir.

          “Map hijau di atas bufet.”

          Map hijau sialan. Aku mengutuk.

***

MENUR

          “Kita vidcall ya, supaya ceritanya lebih seru,” kata Kresna.

“Gak mau, aku lagi jelek, jerawatan dan belum mandi,” jawabku waswas.

“Kenapa sih kamu selalu menolak diajak video call? Aku kan enggak minta macem-macem, cuma ngobrol doang.”

“Aku ini pemalu, lebih nyaman ngobrol via chat.” Aku mulai kesal, “Ya sudah kalau kamu enggak mau cerita sih…”

“Dia temen kampusku.” Kresna mengalah dan mengawali ceritanya.

          “Namanya siapa?” aku menginterupsi.

          “Mau tau aja.”

          “Yaudah. Enggak dikasi tau juga enggak apa-apa.” Aku seolah tidak peduli.

          “Hahaha... iya, sih. Eh, dia itu sebenarnya mantan pacar saya.”

          “Weeits... CLBK nih ceritanya?”

          “Enggak tau juga ya. Semua terjadi begitu aja.”

          “Apa yang terjadi?”

          “Waktu itu sudah agak sore dari kampus, jadi saya berinisiatif nganter dia pulang.”

          “Nganterin si..., siapa tadi namanya... lupa...”

          “Inggit,” jawab Kresna.

          “Ah, iya Inggit. Lupa terus.” Aku terbahak dalam hati. Jebakannya kok gampang banget ya? Padahal tadi dia udah enggak mau sebut nama. Tolol!

          “Terus ya saya anter sampai ke rumahnya. Saya diajak masuk. Kami ngobrol-ngobrol gitu deh. Sedikit mengenang masa lalu, sampai akhirnya terjadilah hal itu.”

          “Hal apa?”

          “Gimana, ya. Soalnya kami ngobrol di kamarnya dia. Hal itu terjadi begitu saja.”

          “Apa yang terjadi begitu saja? Pertandingan catur?” aku berlagak gila.

          “Kami bercinta.”

          Situasi di sekelilingku mendadak hening. Ruang di sekitar tubuhku menjadi gelap dan dingin. Entah kenapa, hatiku runtuh dan ayap-sayap di permukaannya mengelupas.

          “Kamu sama Inggit...” Aku mengetik kalimat dan terhenti dengan jeda yang agak lama. “Jadi, gitu, ya, kalian bercinta.”

          “Iya, kejadiannya di kamar itu. Kamar Inggit. Nur, enggak apa-apa kan kalo saya cerita terlalu blak-blakan? Hehehehe. Kamu kan cewek, apa enggak sebal mendengar cerita seperti ini?”

          “Enggak apa-apa. Cerita aja. Kan aku yang tadi minta kamu cerita.”

          “..............”

          Tulisan Kresna yang tengah bercerita di layar ponsel terasa kabur. Aku tak bisa membaca dengan jelas. Pikiranku melayang. Muncul gambar dalam bentuk kelebat. Aku masih bisa mengingat bagaimana bentuk ruangan kamar itu. Aku tahu persis letak tempat tidurnya, letak pintu, bahkan jalan menuju ke kamar itu. Kamar Inggit. Aku tahu begitu sayap ini luruh aku akan jatuh dari ketinggian, dan aku pasti hancur menghantam bebatuan.

***

ANDES

          Sudah lama berlalu sejak kejadian kepergok ibu, Inggit memang tidak pernah datang ke rumahku lagi. Entah apa yang membuatnya mengatakan kalau hubungan kami harus diakhiri. Padahal kami tidak pernah memutuskan untuk pacaran. Tapi baiklah, jika itu yang dia inginkan. Kami mengakhiri hubungan yang tak pernah dimulai itu. Inggit menjauh.

          Aku pernah berpikir, apa dia begitu malu pada kejadian itu sehingga ia pergi? Masa ada hal sesederhana itu? Aku mulai melakukan ‘penyelidikan’. Aku perhatikan Inggit akhir-akhir ini mulai sering muncul di kampus, padahal ia sudah enggak ada jadwal kuliah. Tapi ternyata tidak sulit untuk menemukan jawabannya. Inggit kulihat sering bertemu dan berbincang dengan Kresna, mantan pacarnya, di kampus. Jadi itulah yang terjadi. Mungkin mereka mau balikan lagi. Tapi apa peduliku terhadap hal itu? Buat apa aku memikirkan itu? Buang-buang umur aja! Sial! Aku peduli! Aku memikirkan itu! Aku rela membuang umur, ambil hidup ini setengahnya! Bunuh saja sekalian! Sial! Sial! Aku mencintainya! Dan cemburu sampai gila!

          Kecemburuan itu menggerakkanku untuk membuat sebuah akun palsu di Facebook dan membeli nomor ponsel untuk membuat akun WhatsApp. Aku menciptakan sosok perempuan bernama Menur. Seperti Dr. Frankenstein yang menciptakan monster malang yang kesepian. Yang pada akhirnya membunuh sang penciptanya. Menur mendekati Kresna untuk tahu banyak tentang apa yang dilakukannya bersama Inggit. Dan sekarang, setelah saya tahu apa yang telah terjadi antara mereka melalui Menur, sepi yang telah saya bunuh itu, kini arwahnya gentayangan, tak mau melepaskan saya.

***

KRESNA

          Brengsek emang si Andes! Dia kira aku ini bego? Awalnya aku hampir saja tertipu, tapi caranya posting medsos dan chat WhatsApp enggak kayak cewek. Dia kira upaya membuat akun palsu dan pura-pura menjadi Menur tai itu berhasil mengelabuiku? Setelah aku tahu bahwa pic profile medsosnya adalah foto artis Thailand, aku mulai curiga. Aku tahu si Andes lagi suka sama Inggit.

Rasakan dan telan tuh semua cerita yang kukarang, bahwa aku balikan lagi sama Inggit dan bercinta dengannya. Manusia sampah, jangan mimpi bisa jadian sama Inggit. Sekarang, tinggal ku-block Facebook dan WhatsApp si tolol itu.

*