SONG FOR MUTIA
--aku ingin membaca matamu
a
d
a
seekor k-u-d-a betina yang melayang,
meninggalkanMu, menjelma
bukit Ciremai di tanah sunda yang akrab.
mata emas itu penuh kegelapan malam,
dihiasi impian liar dan air mata pembangkangan—
dingin telah merasuk sejak bintang di rumah
kecil mengacaukan birahiMu, membawa
pelarian cinta yang berani mengetuk dan membujuk mataMu.
a
k
u
ingin menyusuri mata emasMu,
menyelami nama Aria Kamuning—
yang tumbuh dari kain Pejajaran—
dihiasi bukit Ciremai
dan
rumah kecil dalam cinta yang
beku, di malam yang terhenti
oleh kebekuan cinta.
a
k
u
ingin membaca mata emasMu,
menyusuri aliran air mata dan doa-doa sepi,
kenangan kecil yang menghancurkan
malaikat remaja—menolak menjadi diri sendiri,
karena angin telah berubah menjadi bukit Ciremai,
kuda betina dengan nyanyian yang menyayat hati
dan senyuman gila, dari mata emasMu yang berharga.
a
k
u
ingin membaca mata emasMu,
yang melahirkan kuda betina
jelita di tubuh metafora,
di bukit Ciremai
yang dengan wajahnya
yang jujur dan pasrah
karena telah menemukan
m-u-t-i-a-r-a.
(2024)
DARI SINI AKU BERBICARA
Aku ingat rambutmu
lurus, hitam.
bau tubuhmu, pipimu
di bawah bulan
saat aku mencium penuh nafsu.
musim berlalu, bibir merahmu
di bawah pelukan angin
di kota penuh dosa
yang menghancurkan kita.
Aku ingat
kegagalan berkali-kali,
takut dan meringkuk,
hendak membinasakanmu.
wajahmu sedih,
puisi tak lagi berlindung di hatimu.
mawar dan duri di tangan
tak lagi sempurna mekar.
Hasrat muncul berjuta kali
untuk bernafas
bersamamu,
menghitung naik-turun
ambisimu,
tak perlu lagi aku menyapamu.
Keheningan adalah pacarmu.
kau memilih mimpi
untuk mengoreksi diri,
meski keinginan membara
di tengah kebingungan nama-nama.
Aku ingat keheningan kekasihmu.
hatimu berkata pergi,
pikiran dan empati
tertidur dalam istilah
keheningan yang menyiksamu.
kau selalu bingung
dengan pilihan-pilihan
dan keheningan yang menggeliat
dalam napasmu.
ketakutan berdiri tegak
di belakang
sementara keheningan terus datang.
Ah! Aku ingat bibirmu
yang tak lagi
memaksa berbicara padaku,
biarkan waktu
menghabiskan suaraku
dari sini.
(2024)
KUDA DAN ANGGREK
: buat Mutia
udara jahat mengelabui hantu
kuda betina bangkit dari sela reruntuhan
pohon anggrek.
tak ada lagi cahaya api
menemani sepanjang pagi.
aku disergap dentang harapan
dan terbakar kebingungan
dan lari mengejar bayangan.
api pagi merobek hatiku
dari sepasang puisi
yang bergelayutan di
rambutmu.
aku berlari sambil
menjerit-memekik
tak ada yang peduli.
aku memandang ke dalam diri
mataku buta hati
aku mendengar ke dalam diri
dengan kedua kupingku tuli,
ada suara harapan
buta dan tuli
menghantui berkali-kali
dari suasana hidup yang perih.
udara jahat mengelabui hantu
kuda betina bangkit dari sela reruntuhan
pohon anggrek.
aku memandang ke dalam diri
melihat harapan kembali.
(2024)
MELIHATMU
kulihat sejauh dua tahun dari mataku,
nama masih ada di wilayah yang kucintai
dengan terburu-buru,
orang lain mengalahkan
perjalanan yang kuhargai dengan bisikan basi.
itulah mengapa rindu rapuh,
tanpa berpihak di bawah waktu,
tak terjelaskan oleh mataku yang lelah.
kulihat sejauh itu,
nama masih dibaca dengan terburu-buru,
suara yang tak diinginkan
menghantui malam-malam kosong.
bermesraan dari senyum itu,
berbagi kelam,
kesedihan yang datang tanpa henti.
kulihat sejauh dua tahun dari mataku,
yang kalah dan terburu-buru,
sekarang mulai pasrah,
mengunci pintu yang
sebelumnya terbuka.
(2024)
KAU TELAH
kautelah
nyalakan api
sedang nyala api
kaupadamkan kini
eh buset!
kautelah
menjadi api
sedang api
kini tak menyala lagi
kautelah
menjadi apa
sedang apa
kini tak punya makna
tak punya gairah
tak punya kita
dan
kautelah
padamkan api
sedang nyala api
kini kunyalakan sendiri
--astaga!
(2023)
Apa Mesti Hari Ini Jadi Kenangan?
--dibayang-bayangi film The Eclipse
apa mesti hari ini jadi kenangan
dan kata-kata sembrono ngumpet malu-malu
di mulutMu, di pikiranKu
menjadi puisi
yang sama-sama pernah kuikrarkan dahulu?
begitu gampang kita lupakan waktu
rimba ingatan menjadi biru
terpampang di tembok kamarku, kamarmu
tanpa cahaya
tanpa pernah ingat cinta kita dahulu
apa mesti hari ini jadi kenangan, katamu
di ujung ciuman yang sama-sama menahan nafsu
dan secara malu-malu
kaulepaskan bibirku dari bibirmu
apa mesti
ingatan jadi jalan raya
yang panjang tanpa ada ujungnya
menelantarkan gairah cinta kita
lalu mobil-mobil di jalan raya
berhamburan
bertabrakan
ke tempat yang saat ini kita lupa
apa itu makna, apa itu cinta
dan apa itu putus asa
apa mesti hari ini jadi kenangan
ketika aku gagal mempertahankan cintaku
dan luputkah aku darimu?
apa mesti hari ini jadi kenangan
karena kau berhasil pergi tinggalkan harapan
di kota, di rumah, di jiwa
di peta hidup yang sekarang tak punya makna?
(2024)
Ahmad Rizki, menggelandang di sekitar Tangerang Raya. Sesekali mewarnai hidup dengan belajar sastra, seni dan sejenisnya. Puisi-puisi tersiar di beberapa media daring, dan kumpulan puisi terpublikasi secara terburu-buru berjudul: Sisa-sisa Kesemrawutan dan Sebuah Omong Kosong Cinta Masa Remaja.
Korespondensi: ahrizki048@gmail.com