BERN DAN KEHILANGAN LAIN
Di Bern,
angin mengganti musim kehilangan lain
mungkin hanya padamu, bunyi kemarau semacam saksofon
yang ditiup dan menjalar ke tiang-tiang jembatan
katamu, tak ada lagi kereta di Marzili
Ribuan doa-doa itu menjelma sepeda masa kecil
pergi menyusur malar, memeriksa isi kota
mengayuh pedal nasib pada lambung kesedihan yang tak lagi kasat mata
sebanyak batu dan pasir di dasar Aare
aku memanggil-manggil namamu dalam ingatan yang tak punya hilir
serupa perahu waktu yang melewati ratusan sungai dan badai
dan juga di dasar Aare
kau memandangi Alpen yang perlahan menjadi telapak tanganku
menjadi asiwung bagi wajahmu
LAILA
Di tepian Telaga
Laila menatap bulan pucat
Memantulkan selengkung senyum yang retak
Seperti perempuan-perempuan tanjung,
Ia genggam sehelai rambut
Panjangnya batang ilalang
Punya lelaki yang datang dari utara
Akan selalu ada, tiap yang mati
Meninggalkan mimpi yang belum usai
Bulan mendamari malam
Seorang lelaki meninggalkan kota
Bayangannya gemetar
Melewati jalan-jalan yang kehilangan nama
Biji api itu melayang
Kandas di antara tawa masa silam
Semesta ini purba
Telah selesai kau lewati kabut ke kabut
Dan rahasia itu terus hidup, di matamu
Sebentar lagi kan tiba
Perempuan menatap bulan pucat
Kusisakan sehelai rambut dari kepalamu
Sebagai sisa dosa lelaki ilalangnya
BUAT DELIA ELENA SAN MARCO
Masihkah engkau menungguku, delia
Pada lambaian tanganmu itu,
Aku menitipkan ingatan
Tentang malam yang kita lalui di muka sungai Acheron
Tak usah menepati janjimu
Menyambutku di pelataran saat waktu makan malam tiba
Sesungguhnya aku telah di sana
Di antara dua kursi yang kau siapkan
Tetaplah duduk dengan wajah seperti biasa
Saat aku menuangkan anggur di gelas kesayanganmu
Dan kedua pipimu mulai merah muda
Delia,
Kita akan berjumpa kembali
Di atas perahu yang teramat istimewa
Entah di abad yang mana
Delia Elena San Marco,
Apakah bagimu
Ada jalan untuk mengkhianati waktu kematian
KOTA INI BINGKAI PURNAMA
Kota ini bingkai purnama
Telah kulupa segala cemas dan was-was
Meski gunung-gunung Lebanon runtuh
Dan kemarahan menjangkau langit
Mereka, pengembala zaman
Berseru kebebasan dan keagungan
Aku, berabad lamanya seperti anak lembu
Berjalan di luas padang alang-alang
Tirai hari disibak
Wajah ini takkan pernah redup
Zaman yang dendam harus dituntaskan
MAWAR HANIE
Mawar Hanie
Dadamu telah tertutup segala rahasia
Apalah arti dari gubuk lelaki miskin dan buku-bukunya
Dibanding kain sutera dan manik-manik mutiara
Suaramu berdetak di sepanjang perjalanan
Mengurung dingin pegunungan dan senandung malam
Suaranya makin menggema
Di lembah kosong, lubuk hati yang menjelma gua
Bagaimana cinta benar adanya mampu membersihkan dosa
Untukku, engkau lapangkan hati yang kusam
Dan dijadikan benakku penuh dengan dinding batu pualam,
Terang dari bola-bola kristal
Suratan nasib ataukah siksa dosa
Serapah orang Beirut
Aku berdiri di hadapan sebuah lahat
Mawar Hanie,
Kupanggil namamu perempuan firdaus
Penjelajah waktu paling kudus
Agus Salim Maolana, lahir di Tasikmalaya 21 Agustus 1997. Lulus di Universitas Siliwangi pada Tahun 2020 mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Sekarang aktif di Langgam Pustaka dan menjabat sebagai pendidik di SMP IT Riyadlul Ulum Wada’wah Kota Tasikmalaya.