Bukit Juni dan lainnya

21/06/2024

Bukit Juni

 

Kita, sepasang manusia

Sama-sama mencari makna dari

Indahnya dunia, kita

Sepasang manusia muda,

Yang gemar membaca dan menerka.

 

Kita sepasang manusia,

Berjalan saling beriringan kala itu

Di bawah terik matahari maha kuasa.

Pohon-pohon, juga kupu-kupu,

dan serangga liar sebagai saksi bisu, perjalanan

sepasang manusia.

 

Kita berjalan beriringan di tengah keresahan hutan siang itu,

Memperhitungkan waktu, dan lagu sebagai pengiringnya.

Kala itu waktu terasa begitu cepat berlalu, tapi

Terkadang pula membeku seperti dirimu.

 

Ya, hanya sepasang manusia

Yang sama-sama  bimbang menimang perihal nilai,

dan dunia kita.

 

 

Gadis dalam Belenggu

 

Dia adalah gadis dengan wajah manis

Meski tingginya tak lebih dari 155cm,

Meski banyak keraguan dalam jiwanya

Gadis manis itu masih bisa optimis.

 

Dirinya adalah gadis dengan sorot mata yang menenangkan,

Meski memakai kacamata, tapi tidak apa.

Aku masih melihat keteguhan dalam tatapannya.

 

Gadis manis itu,

Bagiku seperti lagu

Nada-nadanya mendendangkan sukacita, dukacita,

Dan segalanya ada dalam diri gadis manis itu.

 

Gadis manis itu

Bukan milikku, juga

Bukan milik orang tuanya,

Gadis manis itu hidup atas kehendaknya,

Dan atas kendali dirinya (semoga)

Gadis manis itu bercita-cita menjadi burung

Yang bebas dan lepas (katanya)

 

 

Dirinya itu Siapa?

 

Sejak di dalam rahim

Kita tak pernah memiliki pilihan juga jalan,

Sejak di dalam rahim

Manusia hanya bisa mengiyakan setiap keputusan.

 

Setiap jalan yang manusia harapkan,

Setiap jalan yang manusia dambakan,

Setiap jalan yang menyesatkan.

Telah kita aminkan bersama-sama

 

Dari tiap ketakutan dan kekuatan

Kita memunguti kegelisahan dan keresahan

Tentang makna kehidupan.

 

Dan dari setiap peristiwa dan tragedi

Manusia berlari-lari

Saling mengejar dan menepi

Berbagi sunyi juga sepi.

 

Hingga pada akhirnya

Kita semua telah sampai pada apa yang pasti

Hingga pada akhirnya

Kita harus dan mau mati.

 

 

Baiklah Manisku

 

Baiklah, segala badai yang akan menerpa                                                                            

Akan kuterima seikhlas mungkin,

Baiklah, segala resah yang kudapat

Akan kudekap seerat mungkin,

Juga segala kebaikan serta ketulusan yang kau berikan

Akan selalu kutanamkan dalam-dalam di dalam jiwaku.

Terima kasih telah menjadi puisi-puisi yang tak dapat kuselesaikan!

Terima kasih telah menjadi buku-buku yang tak dapat kupahami! Juga

Terima kasih telah menjadi cahaya dalam gelapnya kehidupanku, Nahkwa!

Sungguh, terima kasih telah hadir dalam garis hidup Seorang lelaki pengecut!

Dan tentu

Maaf bila hari-harimu telah banyak terganggu oleh diriku,

Maaf bila jam tidurmu juga ikut terganggu,

Maaf bila semua yang telah kuceritakan mengganggumu,

Maaf bila laba-laba yang kuberikan kepadamu membuat ketakutan,

Maaf bila video musik yang terlalu sadis telah membuatmu mual,

Maaf bila pesan-pesan dariku mengganggu pekerjaanmu,

Maaf bila aku pernah membuatmu malu di hadapan orang lain,

Maaf bila aku lupa mengatakan sesuatu,

Maaf bila aku telah melupakan beberapa hal kecil tentang dirimu,

Maaf bila aku lupa membuka pintu perpustakaan untukmu,

Maaf bila aku pernah menolak berkunjung ke rumahmu,

Maafkan aku telah mengganggu beberapa hari-harimu, maaf.

Terakhir;

Sungguh, aku mencintai segala apa yang keluar dari mulutmu

Sungguh, aku mencintai segala resah yang kau suguhkan kepadaku

Sungguh, aku mencintai segala kisah yang kau berikan hanya untukku

Sungguh, aku mencintai segala apa yang ada pada dirimu, sungguh!

 

 

Hari Kemarin

 

Pergi ke tempat yang telah kita kunjungi

Pada satu Juni lalu.

Kita melewati pinus-pinus,

Melewati resah-gelisah,

Melewati duka sekaligus suka.

Waktu itu,

Kita lebih sering membeku berdua,

Aku terpaku karena matamu,

Kau terpaku karena nasibmu,

Kita membeku, sedang angin terus menertawakan kita.

 

Raga kita memang di puncak bukit sana

tapi jiwa kita entah pergi ke mana,

Kita berakhir, sedang angin terus menertawakan kita.

 

Hingga pada akhirnya kita terjatuh, jauh

Ke dalam langit biru yang rapuh.

Hingga pada akhirnya aku gagal

Menungkapan kata yang tersengal,

Hingga pada akhirnya aku terus berkhayal,

Aku menjadi penyair yang andal

Membuat puisi-puisi tentangmu

Yang tak akan pernah kuselesaikan,

Merangkai rima-rima

Yang membuat irama kisah kita

Menjadi runtunan peristiwa yang takikan pernah kulupa.

Dan dirimu menjadi abadi.

 

 

Ketika Hari Itu Datang

 

Telah kuserahkan seluruh diriku padamu

Jangan kau ragukan itu,

Semua milikku kini menjadi milikmu juga

Bahkan semangat hidupku,

Kau boleh memilikinya.

Maka di hari perpisahan kita nanti

jika kau memiliki setengah diri ini,

Rebutlah setengahnya lagi

agar aku menjadi mati dan tak berarti.

 

 

 

Agil Firmansyah, tinggal di kota angin alias Majalengka merupakan seorang mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia UNMA, sedang menempuh semester 6.

@kosmoplit_