Bukit Juni
Kita, sepasang manusia
Sama-sama mencari makna dari
Indahnya dunia, kita
Sepasang manusia muda,
Yang gemar membaca dan menerka.
Kita sepasang manusia,
Berjalan saling beriringan kala itu
Di bawah terik matahari maha kuasa.
Pohon-pohon, juga kupu-kupu,
dan serangga liar sebagai saksi bisu, perjalanan
sepasang manusia.
Kita berjalan beriringan di tengah keresahan hutan siang itu,
Memperhitungkan waktu, dan lagu sebagai pengiringnya.
Kala itu waktu terasa begitu cepat berlalu, tapi
Terkadang pula membeku seperti dirimu.
Ya, hanya sepasang manusia
Yang sama-sama bimbang menimang perihal nilai,
dan dunia kita.
Gadis dalam Belenggu
Dia adalah gadis dengan wajah manis
Meski tingginya tak lebih dari 155cm,
Meski banyak keraguan dalam jiwanya
Gadis manis itu masih bisa optimis.
Dirinya adalah gadis dengan sorot mata yang menenangkan,
Meski memakai kacamata, tapi tidak apa.
Aku masih melihat keteguhan dalam tatapannya.
Gadis manis itu,
Bagiku seperti lagu
Nada-nadanya mendendangkan sukacita, dukacita,
Dan segalanya ada dalam diri gadis manis itu.
Gadis manis itu
Bukan milikku, juga
Bukan milik orang tuanya,
Gadis manis itu hidup atas kehendaknya,
Dan atas kendali dirinya (semoga)
Gadis manis itu bercita-cita menjadi burung
Yang bebas dan lepas (katanya)
Dirinya itu Siapa?
Sejak di dalam rahim
Kita tak pernah memiliki pilihan juga jalan,
Sejak di dalam rahim
Manusia hanya bisa mengiyakan setiap keputusan.
Setiap jalan yang manusia harapkan,
Setiap jalan yang manusia dambakan,
Setiap jalan yang menyesatkan.
Telah kita aminkan bersama-sama
Dari tiap ketakutan dan kekuatan
Kita memunguti kegelisahan dan keresahan
Tentang makna kehidupan.
Dan dari setiap peristiwa dan tragedi
Manusia berlari-lari
Saling mengejar dan menepi
Berbagi sunyi juga sepi.
Hingga pada akhirnya
Kita semua telah sampai pada apa yang pasti
Hingga pada akhirnya
Kita harus dan mau mati.
Baiklah Manisku
Baiklah, segala badai yang akan menerpa
Akan kuterima seikhlas mungkin,
Baiklah, segala resah yang kudapat
Akan kudekap seerat mungkin,
Juga segala kebaikan serta ketulusan yang kau berikan
Akan selalu kutanamkan dalam-dalam di dalam jiwaku.
Terima kasih telah menjadi puisi-puisi yang tak dapat kuselesaikan!
Terima kasih telah menjadi buku-buku yang tak dapat kupahami! Juga
Terima kasih telah menjadi cahaya dalam gelapnya kehidupanku, Nahkwa!
Sungguh, terima kasih telah hadir dalam garis hidup Seorang lelaki pengecut!
Dan tentu
Maaf bila hari-harimu telah banyak terganggu oleh diriku,
Maaf bila jam tidurmu juga ikut terganggu,
Maaf bila semua yang telah kuceritakan mengganggumu,
Maaf bila laba-laba yang kuberikan kepadamu membuat ketakutan,
Maaf bila video musik yang terlalu sadis telah membuatmu mual,
Maaf bila pesan-pesan dariku mengganggu pekerjaanmu,
Maaf bila aku pernah membuatmu malu di hadapan orang lain,
Maaf bila aku lupa mengatakan sesuatu,
Maaf bila aku telah melupakan beberapa hal kecil tentang dirimu,
Maaf bila aku lupa membuka pintu perpustakaan untukmu,
Maaf bila aku pernah menolak berkunjung ke rumahmu,
Maafkan aku telah mengganggu beberapa hari-harimu, maaf.
Terakhir;
Sungguh, aku mencintai segala apa yang keluar dari mulutmu
Sungguh, aku mencintai segala resah yang kau suguhkan kepadaku
Sungguh, aku mencintai segala kisah yang kau berikan hanya untukku
Sungguh, aku mencintai segala apa yang ada pada dirimu, sungguh!
Hari Kemarin
Pergi ke tempat yang telah kita kunjungi
Pada satu Juni lalu.
Kita melewati pinus-pinus,
Melewati resah-gelisah,
Melewati duka sekaligus suka.
Waktu itu,
Kita lebih sering membeku berdua,
Aku terpaku karena matamu,
Kau terpaku karena nasibmu,
Kita membeku, sedang angin terus menertawakan kita.
Raga kita memang di puncak bukit sana
tapi jiwa kita entah pergi ke mana,
Kita berakhir, sedang angin terus menertawakan kita.
Hingga pada akhirnya kita terjatuh, jauh
Ke dalam langit biru yang rapuh.
Hingga pada akhirnya aku gagal
Menungkapan kata yang tersengal,
Hingga pada akhirnya aku terus berkhayal,
Aku menjadi penyair yang andal
Membuat puisi-puisi tentangmu
Yang tak akan pernah kuselesaikan,
Merangkai rima-rima
Yang membuat irama kisah kita
Menjadi runtunan peristiwa yang takikan pernah kulupa.
Dan dirimu menjadi abadi.
Ketika Hari Itu Datang
Telah kuserahkan seluruh diriku padamu
Jangan kau ragukan itu,
Semua milikku kini menjadi milikmu juga
Bahkan semangat hidupku,
Kau boleh memilikinya.
Maka di hari perpisahan kita nanti
jika kau memiliki setengah diri ini,
Rebutlah setengahnya lagi
agar aku menjadi mati dan tak berarti.
Agil Firmansyah, tinggal di kota angin alias Majalengka merupakan seorang mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia UNMA, sedang menempuh semester 6.
@kosmoplit_