Candala
Ana Anggi Anggraini
Aku pernah terpenjara Pada jeruji yang tak berupa
Ia dalam membawa sukmaku Terperosok pada sosok bernama kamu
Aku pernah tenggelam Pada sagara yang kelam
Segelap malam, manifestasi kenangan
Aku pernah merasa
Hadirku seolah tak bermakna Saat takdir berkata,
Kita tidak berada pada garis yang sama
Aku pernah mengaku
Pada waktu yang terus berlalu Menyesal akan temu
Yang ternyata sisakan rindu
Ternyata semua salahku Seakan candala adalah aku
Tak pernah bertanya pada semesta Bagaimana isi benakmu
Kab. Tasikmalaya, Januari 2020
Semanggi
Mencoba Membingkaimu Lagi
Oleh Ana Anggi Anggraini
Sosokmu mendadak hadir di depanku Menuntun pada sebuah kursi beroda Bertanya nama dan umurku Jawabanku membuatmu murung Katamu, ini tahun 2021
Kau menanggalkan kata-kata aneh Hingga tanda tanya mampir
Kau siapa?
Suaramu bukan sosoknya
Matamu menyoroti; rapuh dan tak berdaya Lantas bercerita bumi dan waktu
telah menelan dirimu
Dan angin yang menuntunmu kesini Karena detik-detikku harus selalu diisi Bagai gelas kosong diisi air
Kukira nuansa yang tercipta
Membawaku pada masa senyum simpulmu yang bikin gila
Saat rambutku dikepang dua
Saat dirimu dibalut seragam abdi negara
Kau menghadirkan cermin
Cermin berbicara “dirimu putih, pias, penuh keriput.”
Kau menghadirkan album yang bercerita Sosokku memangku bayi belum bergigi
Kau mengaku itu dirimu Perlahan kenangan menyerangku
Teratur bagai tempias menampar jendela Lalu aku mencoba membingkaimu, lagi
Tasikmalaya, 15 Februari 2021
Tahun-tahun itu
Oleh Ana Anggi Anggraini
Tahun-tahun itu,
Detik-detik habis oleh cinta
Yang mewujud udara; kuhirup rakus
Tahun-tahun itu,
Mata merekam setiap gelagat
Hingga bayang raganya tersimpan lama di skemata
Tahun-tahun itu,
Kata-kata tak bertemu dan menjelma Giat menerka-nerka senyum tipis Dan mengoceh karangan pada kawan
Tahun-tahun itu,
Apa-apa yang terjadi disampaikan pena pada kertas Sampai beribu kata
Tahun-tahun itu,
Ranting patah dan daun gugur Terbawa angin yang memintas
Dan membisik, “tiga tahunmu tak ubahnya daun; layu, mati, terlupakan.”
Waktu yang menggeliat pun rindu yang memias Melantakkan hati patah yang ditata apik Sepanjang tiga tahun
Kecewa berdecak, “takdirnya tak segaris.”
Tasikmalaya, 22 November 2021
Bukan Seharga Si Merah
Oleh Ana Anggi Anggraini
Dua tokoh kita terdiam di cetak kertas merah Sewaktu kertas hijau kadang biru
Dibawa dan diberi pada jiwa-jiwa gerah “ini beselan,” kira-kira begitu
Jadi, pagi buta ini
Pintu-pintu dingin basah embun
Disambangi oleh abdi tuk membeli harga diri Tak sampai pikir dua tokoh kita
Warga merdeka yang dibela pun dibayar darah Menyerah, tak sampai senilai Si Merah Mentok tebuslah dengan berlembar-lembar Kertas bertampang dua tokoh teringgi
Konon, jiwa tadi memilih Menggirangkan perut daripada nurani
Cara keliru, jiwa lengah, negara tak terarah Bah! Realitas menggelakkan ini
Tasikmalaya, 28 Januari 2021
Menggamit Elegi
Oleh Ana Anggi Anggraini
Elegi, kupaksa mampir
Pada koran usang basah berikisah
Ibu tanpa anak, anak tanpa ayah dan ibu Hidup susah
Jemari menggamitmu tuk menyambangi Gadis yang memapah adiknya memungut sampah; roti basi
Membalas, kau mengurai aksara Pada sajak-sajakku tentangnya Ia hilang dipelukmu
Tak bisa kutemui lagi
Kau tak mampir di pelupuk mata
Pendusta dan penjanji
Sebab menelan sengsara rakyatnya Lantas pemuda berang
Berangkat pagi yang dipeluk embun; tak pernah kembali
Sia-siakah menggamitmu?
Tasikmalaya, 01 Maret 2021
Lentera Hidup
Oleh Ana Anggi Anggraini
Kala itu, Umurku baru saja genap Seragam merah-putih membalut Dasi menggantung gagah di leher
Aku mengeja Dari A sampai Z Dulu, aku hanya tahu minum susu Lalu mulai ke satu tambah satu
Empat belas tahun berlalu Waktu telah melipatkan diri
Terbayang diriku duduk di bangku Mendengar Bu guru mengenalkan dirimu
Aku tak pernah lupa
Sosokmu menuntunku tumbuh Hingga kini kau tetap menyaksikan
Diri berulang mengisi pikiran dan bantin oleh bagian dirimu
Sebelum dunia menggelap sungguhan Tuntun aku mewariskan dirimu
Pada anak cucuku Lantas berpulang selesa
Tasikmalaya, 29 Maret 2021
Lampu Jalanan
Lampu jalanan Memendar pongah Memajang wajah-wajah
Penuh tawa, dendang, dan gurau semu
Mengaku memilih bisu Saat bayu malam merangkup
Menjadikannya dingin Saksi para peringkuk Pencari sesuap nasi
Tasikmalaya, 27 Agustus 2020
*Tulisan ini diperuntukkan bagi kegiatan Diskusi Malam Langgam Pustaka Volume 18