DARI CATATAN HARIAN
NADJA HALILBEGOVICH
1 Juni 1992
Ia mengepak biskuit, kartu mainan,
Boneka beruang, juga Sarajevo. Sofa,
Gitar tua, mantel bludru, dan lukisan
Di tembok jadi orang asing di ruang
Tamu sendiri. Daun pintu tumbuh
Jadi akar kepergian tanpa riwayat
Dan bekal pemberangkatan. Segalanya
Bernama hening di sini. Tak ada palcici
Atau keletak ranting yang diberati salju
Dari udara. Keriangan hanya tinggal
Dalam sesak dada. Kembang-kembang
Maut ibarat burung di angkasa, ia paham
Membaca pergantian musim yang ekstrim.
Mencium bau kematian, adalah menghirup
Bau kekangenan luar biasa. Dan tanganmu
Yang akrab dengan salju tak sampai beku
Mencatat keduanya, meski nasib usiamu
Berdiri di gawir rahasia. Dirimu meniup
Terompet di bawah tanah. Di terowongan
Rahasia. Dan aku mendengarnya dengan
Sepasang telinga yang berdarah.
2010
DARI CATATAN HARIAN
NADJA HALILBEGOVICH
4 Juli 1992
Para pemetik ceri, bangun terlalu pagi
Dari kaca jendela salju terlihat numpuk
Di daunnya. Dan di tanah salju cukup
Menenggelamkan kedua mata kakinya
Ini hari pertama kebun-kebun sepetak
Melambai ke dunia. Hari yang kesekian
Di mana mimpi kekal di bongkarpasang
Dengan boot dan sarung tangan usang
Usia masih pagi ketika salju mengekalkan
Jejak para pemetik ceri itu dengan getah
Yang mengalir di sepanjang risalah. Lalu
Angin meniupi daunnya dari ciprat darah
Waktu sedemikian tergesa medidihkan
Amarah paling senyap dalam sesak dada
Dan air mata diwarisi seseorang di jendela
Dengan sisa uap yang menggaris di kaca
2010
DARI CATATAN HARIAN
NADJA HALILBEGOVICH
10 Oktober 1992
Dirimu tak punya jawaban sepatahpun
Selain memotong telinga, nyungkil mata
Dan melempar tubuh ke dasar telaga
Dengan harapan segalanya akan tumbuh
Jadi peluru atau bom waktu. Tapi maut
Yang tumbuh di tembok kota, di pohon
Ceri, di ranjang Ljubica Ivezic yang kumal,
Menguliti nyanyianmu ke langit kekal.
Dirimu tak punya jawaban sepatahpun
Selain puisi yang kau peram cukup jadi
Batu saja.
2010
DARI CATATAN HARIAN
NADJA HALILBEGOVICH
17 April 1993
“Mama, Aku Tidak Ingin Pergi
ke Ruang Bawah Tanah,” dirimu
Bercerita dengan sederhana
Ihwal nasibmu sendiri dalam
Puisi. Biarlah takdir kita begini
Adanya. Memandang jalanan
Yang seharian sepi. Menunjuk
Tembok kota dengan lubang
Peluru di mana-mana. Meraba
Dinding rumah yang jendelanya
Pecah semua.
Mama, aku tidak ingin pergi
Atau kembali. Sebelum kutulis
Puisi bagi penembak misterius
Di atas gedung, yang arahnya
Sasar kutunjukkan kepadamu.
Tetapi di sana kematian kita
Telah dibidiknya sekian lama.
Mama, aku percaya sepenuhnya
Bahwa puisi tak menjadikan kami
Yatim-piatu. Para pemetik ceri itu,
Atau yang mendiami ranjang Ljubica
Ivezic yang kekal, tengah menulis
Puisi dari balik-balik salju tebal
2010
DARI CATATAN HARIAN
NADJA HALILBEGOVICH
4 Oktober 1993
Kau menanam sepasang kaki mudamu
Ke dalam puisi yang ditulis seseorang
Di tembok kota dini hari tadi, menggali
Segara dengan darah segar Ibumu, Irma.
Dan langit seperti membisikkan sesuatu
Kepadaku. Mungkin seperti dongeng itu
Yang ingin kubacakan untukmu saat ini.
2010
DARI CATATAN HARIAN
NADJA HALILBEGOVICH
19 November 1994
Berpasang-pasang mata di sebrang menara
Jadi hantu dalam tidur Nermin. Seseorang
Yang dadanya berkarat dari arah kegelapan
Melebatlegamkan kulit dan bulu-bulunya
Seperti seekor Nasar dari sebuah padang
Yang gersang.
Nermin tak mimpi jadi Beruang atau Srigala
Ketika salju lebat mematangkan taringnya
Dengan darah hangat. Ia cukup sederhana
Membangun rumah batinnya dari kebun
Ceri muda.
Langit terus menanggalkan ubannya, Nermin.
Kletak ranting yang jatuh di punggung salju
Jadi tabiat waktu yang menderu bagi mimpi
Tentang kepulangan dan kepergian seseorang.
Dan ketakutan yang tak pernah reda di sini
Seperti napas sunyi di sepanjang terowongan
Yang bergema untuk dirinya sendiri.
2010
DARI CATATAN HARIAN
NADJA HALILBEGOVICH
26 Mei 1995
Maut pun mengeraskan biji-bijinya
Lewat segala musim yang bebal
Dari induk pohon yang ranum akar
Serta daunnya. Tapi siapa dia, petani
Yang memanen maut dari kebun-kebun
Tuzla? Kanal-kanal memeras tubuhnya
Melilit sebentang sawah dengan irigasi
Darah. Ikan-ikan memungut ransum doa
Ketika duri dalam dagingnya luka parah.
Yang menanam rindu, tak hanya sepasang
Kaki muda yang tenggelam kedua mata
Kakinya ke dalam salju, tapi selongsong
Bedil dengan peluru air mata yang mekar
Di atas menara. Siapa yang menabuh sepi
Di tanah kubur yang digali maut sendiri?
Kau tak bisa menerka apa pun di sini, selain
Menyobek masa lalu yang dicabik kesedihan
Dan kesakitan dengan hari-hari berikutnya
Yang sama-sama menyakitkan.
2010
Bode Riswandi lahir di Tasikmalaya, 6 November 1983. Mengajar di FKIP Ba-hasa dan Sastra Indonesia Universitas Si-liwangi Tasikmalaya (Unsil). Bergiat di Rumah Budaya Beranda 57, dan Teater 28. Menulis puisi, cerpen, esai, dan nas-kah drama. Beberapa karyanya dipublika-sikan di beberapa media massa di anta-ranya Pikiran Rakyat, Majalah Syir’ah, S. K. Priangan, Tabloid MQ, Puitika, Lampung Post, Bali Post, Koran Minggu, Majalah Sastra Aksara, Jurnal Bogor, Tribun Pontianak, Majalah Sastra Sabana, Jurnal Amper, Jurnal Kebudayaan AKAL dll. Selain itu beberapa karyanya juga terhimpun dalam beberapa antologi: Biograpi Pengusung Waktu (RMP, 2001), Poligami (SST, 2003), Kontemplasi Tiga Wajah (Pualam, 2003), Dian Sastro For President #2 (Akademi Kebudayaan Yogyakarta, 2003), Jurnal Puisi (Yayasan Puisi, Jakarta 2003), End of Trilogy (Insist Press, Yogyakarta 2005), Temu Penyair Jabar-Bali (2005), Sang Kecoak (InsistPress, 2006), Lanskap Kota Tua (WIB, 2008), Tsunami, Bumi Nangroe Aceh (Nuansa, 2008), Rumah Lebah Ruang Puisi (Yogyakarta, 2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa antologi Temu Sastrawan Indonesia II (2009), Antologi Pe-nyair Muda Indonesia-Malaysia (2009), Mendaki Kantung Matamu (Ultimus, 2010), Istri Tanpa Clurit (Ultimus 2012), Dada Tuhan (Komunitas Malaikat, 2013), Akulah Musi, Air Akar (Gramedia, 2012), dll.