Dentuman Surga dari Ibu
Pada sewaktu-waktu ia mengeluarkan suara, aku terperangkap
mengenakan renda kecil, ia diam saja
di pangkuannya sungai mengalir serupa terjun
terkulai aku tenggelam
pulang!
pulang nak!
: di trotoar suara yang berdenying
sebersit kisah sambunglah sebelum sore, menganga
sementara masa ke masa menjadi jembatan
sebelum tidur dan pintu rumah unik sekali
menua di balik kain super hero, bersama kartun-kartun pagi
"Nak, siapa lagi rerimbunan pohon yang tak terlihat menghubungkan lengan-lengannya sebab berlama-lama menua oleh musim"
jantung berdegup dimainkan biola, tangan mengepal kerikil merabuk wajah anak kecilmu, se masa kecil
menyeringai lebar di sengatan
matahari cepat-cepat berbenah
lewat rongga-rongga bajang dan padi yang dimasak dalam kaleng
saling bergumul, bergegas! betapa ikhlas anak-anak
suara itu lagi, mengemas jangkrik yang balita di jalanan masa lalu
tapi tidak hilang tubuh ibu yang memilih mengisi kata untuk buah seusai impiannya
sungguh, ini masa panjang setiap dipajang tentang galeri terpopuler dan khas lahir bergaun muara.
Sumenep, 2023
Berita-Berita Berbeda di Rumah Kita
Sewaktu silam
tetap kugenakan harapan, membunuh propaganda kota-kota
menampi sisa moral, landscape panjang
dengan kesejahteraan semesta
api melalap kertas basah
sembari itu, pada suatu hari akan kunyanyikan doa-doa
Ayah mendendang lagu iktikad
seribu syair untuk rumah kita yang terzalimi
kegelapan malam pun sirna dari luntur
tanah-tanah subur, berlumut kata
ditanami bunga-bunga matahari orange
ya, harapan tetap akan kukenakan
untuk merinci kedalaman bumi
dengan segenap kata pokta
bijaksana bukan?
: untuk mereka kancil
masing-masing memegang gelas dingin
beranjak dan berpamitan wajah
agar dikagumi sejarah
dengan arah berbeda, bersarang seperti lebah yang gigih
selagi sama, anak-anak mendirikan mainannya pun tangan gemetar
yang lain menggambar dengan warna-warni
satu gelas disambut
potongan ikan nila dengan bumbunya, pulas
membawa kita
mendayukan persamaan
tapi yang dirasai tubuhnya sendiri.
Sumenep, 2022
Tuan: Tabiat dari Hujan
Relung hati saat hujan menggambarkan roh-roh cerlang
dengan segala mata terkesima dibuatnya
deras menghujani kota-kota kering, tubuhnya gigih
bersama embun habis hujan yang lama tak turun
Kueja jejak kakimu dengan abjad dan angan kosong
adakah yang lebih peduli ketimbang hujan?
dari surau aku meleleh, membiarkan mengalir di bawahnya batu-batu kristal
namun tetap saja kau menenggelamkan oretan tua dan kuserguk bunga
Tuan, aku tak tahu mengenal sosok sapaan hujan saat ini
dingin berkali-kali membelai kepala seperti di dongeng-dongeng
Tuan dari Kembangsoka
ditanamnya padi dan jagung pagi-pagi, dirapalkan mantra
huruf, saraf-saraf pada masing-masing yang merunduk
memalingkan tirai semu mengetuk jagat
oh, keramat.
Telang, 2022
Yang Bernama Penyesalan
Dan lagi-lagi penyesalan mencibir tubuhmu tumpah
yang lain menenunnya dengan wajah kopi
putaran waktu meronta pada lampion mawar
membungkus tubuh ringkih, membludak labirin kecemasan sedang anak-anak menghitung setiap detik kemudian, ayah memaklumi musim hujan yang gigil
kota mati dan berbulu, lihatlah
ketidakpastian adalah pintu masuk utama derita
lewat jurang jantung tanpa pemanis jiwa
Hari berganti pukul setengah malam
jangan paksa aku
ke bukit tertinggi saat piawai memainkan debu
pilu tertusuk belakang, bernyanyi di panggung pentas
hujan kita sama
di angka pelepah wajah angin
kencan pertama sudah di mulai
dari wujud maslahat yang telungkup
sehingga tak ada salahnya untuk memanggul malam-malam
dengan tengadah terdalam.
Sumenep, 2022
Kantuk dan Imajinasi
Rak-rak dipajang orang-orang mengintip
mengelus legit pipinya yang tenggelam di buku-buku
terkadang aku juga diajak untuk tenggelam di dalam sana
sekedar memupuk bumi memaknai renyah kata, luas-luas loka
Ternyata aku ditikam menukar ingatan separuh helai
menerka mimik muka orang bisu; akrab disapa manuskrip
mengetahui siratan sejarah
mutakhir untuk lampu-lampu, jagat secara
: tak ada beda dengan yang arif. Beban digandar.
Yang kaku bisa menukar tangkap dari pusaran kalimat yang diucap
dari kantuk lawan lepas
"Binatang piaraan saya, tidak pernah mengurungnya dalam kandang"
berucap ia.
yang merasa bisa mengasingkan diri, ke dalam celah
berulang dalam sirah pergaulan.
Lalu, kita tabuh di ruang bunga, meski kantuk itu.
Di rak-rak bahagia mereka seperti mantra, kantuk dan malas diluntur
patri sebuah lakon wayang indah.
Duhai… mereka
menguasai dahaga.
Hidupi ruh, demi asa demi masa
Ibu kita padinya menguning bukan? Lahir tanpa buah siwalan.
Ruang pengap mencipta abjad-abjad; melayari momentum, menyinari yang suram.
Telang, 2022
Anak Itu
Santunan anak itu menggelegar mereka cabik untuk ingat kepedulian
burung nan hijaunya menghunus pedang dari para pemburu
sebungkus nasi dalam kehidupan manusia sehari-hari
menjelma nahkoda dan bingkisan itu entah berantah pupus
dari tanah kelahiran menuju dialog hariba Tuhan.
Yang terucap akan sirna selebihnya adalah burung terbangun dilengkapi lafal yang terapal sangat
pentingkah pemberian kepada anak pungut itu sedang mereka cacat dari tua
memaknai memang membawa mereka kembali pada habitat aslinya
selagi nada ditabuh mencuat segala ruang
yang benderang akan semakin luluh bila ibu mengiringi langkahnya hingga perjamuan
Terakhir nanar kami,
hadiah untuk mereka tentang tuhan dengan segala yang mustakim
bibit manis menjejal untuk diabadikan
sewaktu-waktu kumasuki tubuhmu mencicipi racikan biar menyesali diri sendiri
abdi negara masyarakat merekah dari Tuan kepada anaknya
agar jadi pualam di setiap jalan.
Bangkalan, 2022
Muhammad Zayyad, lahir di Sumenep. Gemar menulis puisi dan naskah film. Saat ini aktif sebagai kepala divisi sastra UKMF Kesenian ABStra Bangkalan. No. WA: 082338542153. Ig: zymakeen