Melayari Hujan
Hari-hari tanah setia dihujani waktu dilumuri kota-kota, hingga digenangi masa lalu. Dan hujan adalah sepucuk surat dari rahim; ibu untuk anak-anaknya kian meningkat menjadi udara
peduli sebentang pada masif hujan
:cinta dan anugerah biru untuk setiap pucuk di pohon
Timur, barat, selatan ke utara mencipta karya seni dingin
mata berkaca-kaca, burung pun arung jeram
dari karang, ibu sedang merakit kebun; mencipta tak ribut
seketika laut pun diam tidak berubah arah.
Sumenep, 2022
Di Atas Dongeng Kota
Di penghujung bilik kota yang mekar memupuk hari
kasidah tentang dongeng anak pencari nasi nanar kerap dibisingkan
lengang menyisakan buah dari mereka merajalela mengatup dingin
berkali-kali membelai tanah aspal dengan hiasan keroncong dalam tubuhnya
Celoteh anak pungut antri dengan tangan kanan di bawahnya, menanti yang lepas pengap
di atas lampu angan-angan sama dengan mimpi
ibu bertabur bintang namun tiada yang arung
ibu mencipta lagu tak bisa menangkap ritme
Di sudut relung ternyata anak itu bersimpuh demi penantian panjang
pada kaki bumi tak ada yang lebih tinggi kerikil pun mematung
mengarungi laut hidup bukan sebuah kebetulan
sementara semesta menggerogoti tubuhnya
Apa pesonanya malam menyemayamkan harapan secerah itu
lantas, menunggu seorang dirikah aku?
waktu serasa mati; tak ada bekas terang menyingkap tabir
hingga hati kita sayup lebur sebentang.
Telang Indah, 2022
Gang WN dan Penghuninya
Bertahun tahun jalan disesaki ekor kepala
ribut tentang lipstik kenalannya, merobek burung-burung kecapi yang bertengger di grobak orang, seperti menunjukkan kesengsaraan lupa kunci rumahnya terbuka lebar.
Selebihnya panah juga panjang di sudut gang WN
tancap biola ke bising-bising sekitar Ebece
tak sepantasnya menenggak minuman di luar maut, sedang perjamuan terakhir tak ada waktu bermula.
tapi sebenang kain flanel turut berduka atas kepergian suaminya sendiri
sesaat kemudian bahagia
"berita gosong mengakhiri hidupnya dan bercerita panjang"
ibu kita akan terpanggil lagi?
Ia terkenang juga, tentang kota yang menepi, tak memakai mantel, sepatu hujan ketulusan sirna dan tak pernah kembali
tau-tau punggungnya tersayat pisau yang sedang membumbui kehidupan
ya jalang, ia tetap patung yang berdiri, mencintai maut. Matanya gelap
terang adalah cahaya yang mesti diciumi orang setiap hari.
dan hanya kesadaran menaungi sampan kecil hingga jauh berlayar.
Sumenep, 2022
Gedung Cakra Trunojoyo
Pemburu mengangguk di tumpuan tanganmu
buah abad menyembilu di tanah radiasi mimpi
yang duka menyimpan diri dari rak-rak buku
teori filsafat menyepak, antologi terpanggang, dauh agama yang bermoral, kerangka manusia prasejarah, psikologi kematian, atmosfer bumi
atau iya gelagatnya menumpuk di jaring ikan
dan masih banyak lainnya ketimbun bengal
peluh mengucur di pintu keluar Trunojoyo
memadamkan kemalangan di ruas kecil di sekitar gedung RKB E
pekerjaan kita hanya melayani dan diam
Pikirku melapisi bagian dinding kecamuk
tentang lakon ibu yang seharusnya menjadi bagian terpenting sejarah
aku berlari mengejar dingin pagi
sebelum terjerembab membentuk darah kembali
aku mengagumi keindahan alam
lalu melangit di peraduan ibu ke laut ayah
Gedung berjejer, satpam tertidur pulas,
kepala-kepala cekatan mencatat siapa yang datang
tapi gedung Cakra yang lebih mengenang bulan lalu
sampai-sampai tercium Mahsyar
mengubah elegi ketulungan
yang terbawa awan menggemari abad lewat lembarannya.
Sumenep, 2022
Pelabuhan Timur (1)
Ia membela tubuhnya sendiri, dari angkuhan orang-orang di rahim senja
senja di ujung membuat belaian ingatan kita
sehingga tak ada alasan untuk pulang lebih pagi
kembali desir digelar
sore adalah waktu ternyaman dari senggang
tubuh asyik, bermain peta umpet
di terumbu karang barangkali rindu kita di sana
saling merangkul cinta sebagai manusia biasa
namun, sesekali Pel-Tim mengadu nasibnya sendiri
ia seperti lika-liku yang mesra
yang pada gilirannya ada sungai yang rela mengalir
ke pinggir kapal.
Sumenep, 2022
Pelabuhan Timur (2)
Di laut, setiap pagi kapal memompa darah
bisikan orang-orang pasti tentang ombak dan gelombang
saat persediaan bersauh wahai dinding rumah
dan siang menjelma kemarau
dimana dahinya yang bertukar sapa
keruh bulan pada desir gelombang
kaki telanjang, raup kapal menggelegar seperti cinta para nelayan
di bekas yang belum usai ibu
Sebelum memanin ikan-ikan di tubuh senja
setiap anak-anak ingin berlayar juga
menggantikan tangan ibu yang beramai-ramai
di pasar, tak ada perjamuan setia
bergegas pulang dan terbit cinta sang kasih oleh anaknya.
Sumenep, 2022
Pelabuhan Timur (3)
Jalan setapak menuju kapal
kerap ada bising maut kecebur ombak
gulatan aspal melepas ketakjuban
di belakang berpasrah
moral tertuang lagi, wahai keluasan
melompat kegirangan yang tak sia-sia di kuncup nelayan
Ah, girang sebab senja berdatangan
menyelinap tawa di jendela belum ditutup
satu menit lagi kapal akan berlayar
handphone tergenggam, cinta siap di gelar
Daun menepi laut
tenaga sudahlah terkuras oleh rindu
kita selisih malam yang awal
menuju tempat asal
sebuah kebahagiaan bersanding, dengannya kuasa hasta
mimpi ibu benar-benar nyata
pada tungku yang lain
melebihi kusir kereta yang menjanjikan
bahwa setiap derunya membatin dalam ingatan.
Sumenep, 2022
Muhammad Zayyad, lahir di Sumenep. Gemar menulis puisi dan naskah film. Saat ini aktif sebagai kepala divisi sastra UKMF Kesenian ABStra Bangkalan. No. WA: 082338542153. Ig: zymakeen.