Surat untuk Kekasih
— Fjaer, Ethereal
kau sedang apa malam ini?
di Bandung bulan jatuh di antara jejalan gang kumuh
ketika bocah-bocah bertikai dengan waktu
; masa depan yang memapasi mereka
tiap kali surat kabar menerbitkannya
sebagai berita – atau derita
yang mungkin tak cukup diredakan aspirin
tak ada apa hanya dingin tersalin di bangku trotoar
yang siang tadi disinggahi seekor kucing lapar
(ngilu ngiaunya menderu
meminta kenyang ke segala penjuru)
sedang, di utara kerlip lampu adalah pijar kunang-kunang
mengenalkan pada rindu dan badai pertanyaan
: untuk apa semua ini? untuk apa sebuah kota
bila kau tak di sini?
entah akankah kau percaya
kota Bandung adalah istilah lain dari kata murung
tak ada yang menanyakan padanya
: “apa kabarmu sekarang?
bagaimana gedung-gedung memperlakukanmu?
apa kamu merasa sepi di tengah pekik klakson
atau rintih kesah kemanusiaan yang tercabik?
masihkah Tuhan tersenyum
seperti Ia menciptakanmu pertama kali?”
tapi sedingin sepelik semurung kota ini
selalu ada secelah ruang bagi kita untuk berbagi cinta
maukah kau temui aku?
aku ingin memandang diriku di matamu
seperti suatu kali Bandung menenggelamkan dirinya
dalam lautan api
aku di sebuah bar kini
berserah kepada wiski paling murah
sesak terhimpit asap rokok dan pecah tawa
menambah gelisah selagi memikirkan kemiskinan
yang bagai kemenakan di silsilah keluarga
aku juga memikirkanmu
: apakah kelak aku akan jadi ayah
dan kau ibu bagi kemiskinan baru?
tapi sementara kita terjebak di antara kerusuhan masa kini
kau bisa menghimpun bahagia pada buku-buku tebal atau drama Korea
atau menulis berpuisi dan bersaksi kepada Camus
tentang apa adanya zaman yang kau singgahi
kita tak akan ke mana-mana
inilah hidup yang kita punya, hamun, pun cintai
tiap malam menggugurkan mimpi-mimpi
selagi kunyanyikan lagu untukmu, Kasih
18-5-2022
Di Leuwi Panjang, Suatu Siang
— untuk V
terminal Leuwi Panjang adalah halaman belakang
sebuah tribunal;
kau dan aku menunggu diadili seorang sopir bus kota
yang akan mengasingkan kita
sebagai sepasang interniran di suatu rindu tak bernama
kemudian mentari kian terik sepelik perasaan kita
sedang kau yang satu-satunya teduh
bersiap pergi menjelang, menuju sebuah jauh
tapi sebelum saling memunggungi
kenapa kita tak bertukar peluk
untuk sekedar meredakan menit-menit
yang kelak kian sakit?
21-02-2021
Di Maclaine Pont Weg
— untuk Fio & Imam
Maclaine Pont Weg hanya menyisakan kita
tapi siapa mencuri bulan malam ini?
cuma bohlam tersampir di seutas tali
sebagai replika bagi yang tak ada
kau tengadah selisik langit seraya menerka
mungkin penyair tua dari khazanah yang entah
lupa menaruh ke tempat semula
atau seorang pengangguran menukarkannya
dengan garpit setengah dan dua bungkus Indomie
demi menebus kenyang yang ia gadai seharian ini
selintas terbayang dedaun jatuh ke dalam gelas kopi
sebelum Saut menggaduh: belum puas dengan obskuritas?
tapi kita terus bicara tentang kebudayaan atau apa puisi
meski dingin berbisik mengantarkan iba tanya yang papa
: apa guna semua ini bagi kami?
kutitipkan jawab pada seorang penyapu jalan
yang ragu-ragu membereskan sisa cemas dan keramaian
kau tahu? aku bahkan tak percaya puisi
yang tak mampu menyumpal lapar, samar tangis,
atau jadi alasan senyum seorang gadis
tapi selagi sunyi ada baiknya kita berdoa
sebab bising kota sering kali membungkam harap
meski suatu waktu aku pernah berucap
tiada yang lebih ribut dari isi kepala
20-05-2022
Di Teras Itu Kita Kembali Bertemu
dan Kau Bertanya Puisiku yang Dulu
— untuk Arif
beberapa jam lagi Minggu akan tiba kepada kita
sementara dingin mulai menyatroni neon dan barisan pohon
tebak! duka siapa itu yang tergeletak di bawah tong sampah
mungkin petang tadi ada yang habis menangis di sini
dan tak membereskannya lagi
kau meminta jawab soal puisiku dulu-dulu
bagaimana nasib ingatan tentang seorang perempuan
hilang terasing dari tajuk-tajuk cinta
tapi aku sediam mayat tak bicara kematiannya
semusim kembara di tengah kalut laut air mata
telah kularung segala murung satu demi satu
sebelum duka berlabuh di sebuah puisi
meminta suaka kepada teduh kekata
meski, malam ini pun kau masih mencium bau pilu
yang tak kunjung terhapus dari tubuhku
aku beria tentang puisi yang rumah bagi resahku
sebagai pintu kepulangan sejauh pergi
dan dalam berbagai sajak nanti,
sedih yang dulu terserak pada lembar-lembar almanak
tak mau kutulis kembali!
22-05-2022
Di Sebuah Pintu Alinea
— untuk Fadil
Aku berdiri di sebuah pintu alinea memandangimu yang terpisah beribu spasi di antara peristiwa-peristiwa. Tapi kau tak hirau seperti lupa bau kesedihanku yang dulu begitu kau kenal bagai karib sejak masa kanak. Malah, langkahmu seolah ingin melepaskan genggam pandangku, kau terus saja meniti pematang kalimat penuh perdu kecemasan, menyusuri sunyi senyap paragraf sebelum lesap sembunyi dalam sebuah elipsis untuk meluapkan tangis atau melupakan luka. Dan tak ada yang bertanya, “Mengapa kau selalu ingin sendirian?”
Di Bandung tubuhku merasa di rumah; kau pun di sini, tapi kita begitu aksa terpisah beribu peristiwa dalam rubrik masing-masing, saling asing sejak lama. Suatu ingatan basah – entah oleh air mata siapa – jatuh di atas sisa Mei sebagai janji dalam sekaleng bir yang pernah kita bagi di tengah sengit silam udara Selatan; sebagai berkas rekaman yang mengemas suara kita dalam format .mp3; sebagai sumpah yang kita ubah jadi baris-baris enkripsi. Tapi apa artinya semua ini? Satu perenggan kemudian aku melihatmu lagi dan masih tak ada yang bertanya, “Apakah kau kesepian?”
Dalam sebuah prosa, kau menghapus seluruh dirimu dari berjejal nama dan inisial; membiarkannya tak terbaca, tak dikenal. Hal begini mungkin tak selalu tentang melankolis, tapi wajahmu adalah kesedihan (telah kupastikan tak ada cermin. Kau adalah yang lain. Aku yakin!). Tapi tak ada yang bertanya, “Kau kenapa?”
Tiga bait di atas adalah caraku merindukanmu dan satu-satunya yang bisa kau baca telah kuhapus sejak aku berdiri di sebuah pintu alinea. Tapi apa artinya itu? Aku tak ingin bertanya apa kau masih hafal bau kesedihanku, apa kau masih tinggal di kota yang dulu mengasingkan kita, apa kau masih ingat sengit udara Selatan ketika kita berbagi bir di teras sebuah swalayan, apa kau masih hirau tentang janji yang sama-sama tak kita tepati. Semua tak berarti. Di atas segalanya aku hanya ingin tahu, bagaimana kabarmu kini?
27-05-2022
Angga Saputra, menetap di Bandung sejak hari lahirnya pada 20 Agustus 2000. Saat ini sedang menempuh studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pasundan. Usai meninggalkan Lembaga Pers Mahasiswa ‘Jumpa’, bergiat mengaktifkan ruang apresiasi sastra di kampus bersama beberapa kawan.
Angga dapat ditemui di akun Instagram (@)pseudoangga.
WhatsApp: 0812-1414-7705
Surel: pseudoangga@gmail.com