Kepergian
Pada saat itu, awan-awan hitam
pada tanggal menjadi hujan.
Mereka mengucapkan selamat galau
kepada dada yang tak lagi kemarau.
Aku berada di balik jendela yang sepi,
sehingga tak ada yang mendengar;
apalagi menjawab sebuah pertanyaan
—selain ke bumi, hujan ini
akan kujatuhkan ke mana lagi?
Al Ikhsan, Februari 2020
Mengintip Rumahmu
Melihat jendela rumahmu malam ini, lampu-lampu masih terlihat nyala, iklan-iklan televisi dan mp3 masih terdengar lengking di telinga hujan yang sedari tadi menjatuhi atap rumahmu dan kepala ramaiku. Hujan sudah berkompromi denganku untuk datang jangan membawa bising, supaya telinga doaku sanggup mendengar suara-suara kesepian di antara berisik rumahmu, sementara hujan tak mengambil alih tugasku.
Pintumu sudah terkunci rapat-rapat sekali. kemudian aku berteriak berani: walau tak kau suruh masuk, tak maukah engkau melihat diriku yang sudah lama sekali kehujanan, sedikit saja, lewat jendela rumahmu yang masih nyala itu?
Tiba-tiba ia membukakan pintu, bukan untukku, tetapi untuk hujan. Hujan dipersilakan masuk ke dalam dan aku dibiarkan menunggu di balik basahnya rimbun rerumputan tanpa tahu apa yang harus kulakukan.
Belik, Maret 2020
Soneta Kenangan
Kenangan yang sudah dibuang
ke laut, menguap dan hinggap
pada awan-awan hitam. Kemudian
jatuh di atap-atap rumah.
Pada waktu itu, seluruh hujan
dipungut dan disangrai oleh
para pujangga menjadi kata-kata puisi
yang pahitnya melebihi bahasa kopi.
Sisa-sisa ingatan yang masih terjebak
di daun-daun dan jendela sedang menunggu
angin atau matahari yang bisa mengeringkannya,
atau malah membiarkan tubuhnya terjebak
di selokan, karena ada banyak sampah kata
yang dibiarkannya menggunung begitu saja.
Al-Ikhsan, April 2020
Hujan Rindu
Awan-awan tercekik haus melihat tak ada
pelukan lagi pada hari ini. Matahari memanjatkan
doanya lewat bibir laut yang menguapkan
pertemuan-pertemuan. Dada awan yang
menghitam adalah kejenuhan, kapan dan
di mana rindu ini harus ia jatuhkan.
“Di bumi: tempat segala bentuk rindu tersendat
di selokan-selokan jalan tersebab kata-kata
yang belum sempat didaur ulang,” jawab plang-plang
bertulis Dilarang buang kata sembarangan!
Al Ikhsan, Desember 2020
Langit Rindu
Ketika senja mulai bertengger di pucuk
cakrawala, kepergian cahaya mulai terlihat
lewat punggung-punggung mega yang merah
dan pipi matahari yang mulai basah.
Sebelum azan magrib tiba, beduk-beduk rindu
mulai ditabuh oleh tangan-tangan masa lalu.
Kemudian gelaplah jagat raya tersebab suara
beduk yang mulai mengisi langit-langit semesta.
Al Ikhsan, Desember 2020
Pindahan
"Mau apa lagi kau masuk
ke kepalaku?"
"Mengumpulkan barang-barang,
memberesi kenangan,
dan merapikan segala ingatan."
Al Ikhsan, April 2021
Sementara Waktu
Untuk sementara waktu,
aku menginap di suatu ruang
yang tak memiliki atap dulu.
Matahari siang panas sekali,
malam-malam dingin sekali.
Musim hujan sedang berlabuh.
Sering kali hujan jatuh,
tubuhku pun basah seluruh.
Al Ikhsan, September 2021
JAMALUDIN GmSas adalah nama pena dari Jamaludin. Lahir di Pemalang, 20 Juli 1997. Ia adalah santri di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Beji, Banyumas. Laki-laki pencinta kopi ini puisi-puisinya pernah disiarkan di laman: Koran Tempo, Pos Bali, Medan Pos, Tanjungpinang Pos, Fajar Makasar, Radar Banyumas, Radar Cirebon, Radar Pekalongan, Harian Sinar Indonesia Baru, sabah360online Malaysia, LP Maarif NU Jateng, riausastra.com, Metafor.id, lensasastra.id, Marewai, Kami Anak Pantai, dan lain-lain. Tersebar juga di beberapa antologi bersama, antara lain: Tahun Baru Bersama Bunda (Anara Publishing, 2018), Petani dan Sebatang Padi (Jejak Publisher, 2018), Setumpuk Rindu Yang Berdebu (Inspira Pustaka, 2019), Perempuan Ghirsereng: Kumpulan Sajak Penyair ASEAN-3 (Dema FTIK IAIN Purwokerto, 2020), Kembang Glepang 2: Antologi Karya Sastra Para Penulis Banyumas (SIP Publishing, 2021). Ia juga pernah menjadi juara 2 pada Lomba Cipta Puisi Nasional yang diselenggarakan oleh Catatan Pena (2021). Facebook: Jamaludin GmSas. Instagram: @jamaludin-gmsas. Email: jamaludingmsas2@gmail.com.