Ibu, Bapak, dan Pesan Sepasang Mata Hujan

31/05/2024

Perjalanan Sungil

 

mungkin untuk saat ini

ketukan di pintu

jauh lebih menyedihkan

daripada lambaian di dermaga

atau tahlil di pemakaman sekali pun.

 

sebab ini jalan sudah tak hangat lagi

mungkin kami butuh mantel tebal

sarung tangan tebal

kaus kaki tebal

dan selimut.

atau mungkin

yang kami butuhkan

hanyalah selamat (?)

 

memang, kami selalu percaya

bahwa tuhan sembunyikan

sengsara dan bahagia

pada ruas waktu

yang suci dan rahasia.

 

tapi jalan ini benar sungil dan dingin.

kami ingin gegas sampai

di dasar dada ibu

yang tak henti menyala;

membakar rindu

agar doanya tetap hangat

dan selamat.

 

2023.

 

 

Ibu dan Ingatannya tentang Negara

 

Nak, ingatlah

bahwa negara adalah riak dan bising

di luar jendela kamar kita

di rumah-rumah bedeng

ia menjelma tangis bayi

yang sukar tidur

di dada kurus ibunya

di rumah-rumah gedung

ia menjelma tawa priayi

yang nyenyak tidur

dengan perut tambunnya

 

dan tubuh negara

persis seperti tubuh Bapak:

kulitnya sudah keriput

dan napasnya agak ngos-ngosan

mengejar mimpi anak-anaknya

 

di dalam rumah

ia menjelma perkasa

dan penuh cinta

di luar rumah

ia lebih perkasa,

dan penuh luka

 

Aku ingin kau menjadi kata-kata

yang menumpas duka

di telinga negara

 

dan aku ingin kau menjadi kereta

yang membonceng Bapak

mengejar mimpi-mimpinya

 

2023.

 

 

Ibu, Bapak, dan Pesan Sepasang Mata Hujan

 

sepasang mata hujan

mengirim pesan

pada musafir cinta

yang loyo diterjang derita

 

ia tahu bahwa ibu

tak henti menyala doa

dan bapak

tak jemu mengulur masa

bagi harap dan kabulnya

 

ia tahu bahwa usia

hanya permainan

dan perjalanan nasib

bagi seorang anak di dunia

 

ibu menjelma buku petunjuk

dan bapak sebaik-baik peta

bagi langkah dan pilihan anaknya

 

mereka tahu

nasib tak setajam

duri di tangkai mawar

nasib tak seharum

kembang di pemakaman

dan nasib tak sepanjang

pertemuan Adam dan Hawa

atau sesingkat Isa berbicara

sebagai hamba-Nya.

 

2023.

 

 

Kepada Ibu

 

Bu, dulu kita sering disebut orang kampung

sebab tinggal di tengah hutan sengon dan ladang-ladang jagung.

tapi sekarang, kita seolah tinggal di kampung orang

sebab pabrik-pabrik sepatu, semen, dan garmen

seperti tumbuh dari biji sengon dan jagung yang kian hilang.

 

dulu kita dianggap terbelakang

sebab kota telah jauh berkembang

dan kini kita semakin terbelakang

sebab dinding-dinding pabrik semakin menjulang

memunggungi jalan nasib dan nasab anak-anak kita.

 

dulu kota adalah perbincangan hangat

—bagi cita-cita para tetangga,

sehangat teh pagi di beranda mereka.

dan kini desa jadi perbincangan panas bagi kota

—yang saling rebut sengketa

sepanas hawa di pucuk malam sekali pun.

 

Bu, bukankah pabrik dan tambang

adalah saudara dari tanah, batu,

hewan, dan pepohon yang lahir

dari rahim yang sama?

 

tetapi kenapa sejak kelahirannya

tak ada lagi harum dan ranum kemboja

tak ada lagi rimbun daun asam

di balik tanah-tanah basah

dan kuku-kuku jenazah tak lagi

jadi kunang-kunang yang selalu

mengubah kehilangan

jadi satu ketenangan?

 

Bu, aku semakin takut

pada pemakaman dan kematian

sementara aku tak pernah sudi

untuk hidup 1000 tahun lagi.

 

2023.