AKU MENEMUKANMU DISEBUAH LORONG WAKTU DALAM MIMPI
Bagai dua kutub magnet yang tarik menarik
Takdir tak bisa dibuat–buat, selesaikan nasib
Kamu lautan dan aku sungai yang menujunya
Menjadikan aku matahari dan kau sinarnya
Sampai aku menemukanmu
Di sebuah lorong waktu dalam mimpi
Hingga dalam kata-kata pada setiap kalimat
Aku menemukanmu dalam titik
Dalam bayangan paragraf yang tak terkira
Di sebuah bahasa yang tidak bisa dipahami
Di antara selebaran waktu pagi menuju pagi
Dalam do’a, dan ucapan puitis yang aku punya.
( 2015 )
JALAN INI, KAWANKU SEBUT SIA-SIA
Ketika kelak hidup menjadi asing
Ada masa di mana perih itu sebuah nafas
Dalam perantauan menuju masa tua
Jalan ini, hatiku yang pilih
Setidaknya ini berani (jalan yang jauh dari pasti)
Seyogianya layak diperjuangkan
Menjadi anak panah yang melesat di masa muda
Hidupku dan hidupmu, rumus hitungannya berbeda
Ketika kelak hidup menjadi asing
Mungkin kau bertaruh angka
aku bilang hitungannya berbeda
Kebahagiaan tidak diukur oleh angka
Ketika aku menjadi terasing
Aku tersenyum bertanya–tanya
Berapa harga kebahagiaan hidupmu
Aku memesanya
Jalan ini, kawanku sebut sia-sia
Rencanaku , tertidur dalam keabadian
Mati dengan damai setelah ribuan puisi menjelaskannya.
(2022)
AKU MELIHATNYA
Suatu hari, ibu mengangkat kepal tangannya
Melihat anak yang memungut sayuran kotor di tanah
Itu sudah cukup menjadi alasan untuk dirinya marah
Ia marah, tetapi ia juga menangis.
Aku melihatnya, tanganku di pegang erat
Ia juga menarik anak itu,
Terbang sudah kepalan tangan
Dihajarnya troli untuk menggertak orang-orang yang diam
Ibu menangis dalam hatinya
Ia berpesan lewat marahnya
Nak, cinta adalah apa yang kau lihat benar
Bela dan beranilah.
Resikonya hanya satu
Kau akan menjadi yang paling terasing
Namun lega dadamu yang busung itu
Kau telah melihatnya.
(2018)
LAHIR DAN JUGA MATI
di tanah ini ribuan kasih sayang
aku merangkaki bebatuan kerikil
kemudian belajar berlari di antara petakan sawah
jatuh tersungkur di tanah ini
satu persatu, detik per sekian detik
tak nyaman, tidak merasa tenang
gelisah, pikiranku tak dapat menjangkaunya
ada menara !!! gedung-gedung itu
rupanya tidak sama atas ucapannya
digusur habis telah sepah kini
tanah ini aku ingin mati di tanah ini
petak sawah berganti kavling tanah
milik siapa bu ? tak aku kenali
aku pribumi di sini, tapi tak aku kenali
serapah hanya serapah, sudah habis tak ada nada lagi gabah
lahir dan juga mati ,
di tanah cinta ini, biarlah
(2019)
AKU BENCI SURAT ITU
Telah kuterima surat itu
Perlahan kubaca, kata-kata mengancam ini
Sebodoh apa aku, tuan
Ini sudah arogansi kekuasaan
Ini, bilamana datang kembali alat berat
Perang !!! tanah ini , darah !!
(2019)
SUKARELA
atas nama cinta yang besar
aku persembahkan kata-kata
hingga selesai tak dapat berdiri
ini aku untuk segala cinta
manusia untuk manusia
manusia untuk alam raya
aku tebus dosa yang berpola
(2019)
JANGAN KAMU MARAH
Pada satu hal yang kau benci
Kau akan temukan kebosanan
Bereaksi lagi secara impulsif
Merobek–robek kertas kerjamu
Mematahkan pena kesayanganmu
Memukul semua benda yang berdiri tegak ke arahmu
Menendang segalanya
Dan sampai akhirnya tubuhmu gemetar
Nafasmu mengendus-endus bagai asu
Hingga penghujungnya adalah lamunan.
(2022)
AKU KEMBALI PADA KEBINGUNGAN
Angin kembali membawaku ke sebrang
Hujan di desaku ini berterima kasih padanya
Karena hilang satu orang
Yang menuliskan rintiknya dalam prosa
Aku di terbangkannya jauh
Mengelilingi setiap cita-cita
Menjadikan aku seperti yang diharapkan
Mengabulkannya, utuh dan penuh
Sampai aku bertemu gerombolan awan
Satu sayap elang yang mengepak santai
Aku pinta terbang mengikuti elang itu
Dan aku masih saja terbuai
Ibu, aku selalu hidup dalam mimpi
Kali ini aku ingin menghidupkan mimpi itu.
Aku dikembalikan oleh sepoi angina
Tubuhku menjadi kering, dan semuanya kosong
Lalu hujan turun dengan rintiknya yang rendah hati
Ia berbisik ,
“Segeralah pulang, minta pengampunan dan do’a darinya, ibu.“
(2020)
MULAI AKU RASAKAN, RINDU ITU KEJAM
Jarum jam tetap berputar dalam porosnya
Detak–detak suara detik, suara serangga dan hewan malam
Suara jantung yang berdebar–debar
Suara kegelisahan, suaramu siang tadi
Dalam renungan ini yang sepi
Mulai aku rasakan, rindu itu kejam
Seperti aku tertimpa cahaya rembulan
Dalam keheningan dan sunyi malam
Hingga suara kriettt jendela yang perlahan terbuka
Terasa asing di telinga.
Wajahmu, suara itu, aku mengingatnya dalam terjaga.
Alismu yang tajam, menyayatku dalam perasaan ini
Dan untuk pertama kalinya.
Cinta itu hadir di sebelahku.
(2015)
Muhamad Jessa Rezky lahir di Majalengka, 13 Mei 2000. Saat ini tinggal di Blok Rabu, Desa Maja Selatan, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka. Mendaki gunung dan menulis adalah hobinya. Kesibukannya sehari-hari adalah di perpustakaan , karena baginya perpustakaan adalah ruang yang serba bisa dan serba ada. Dia aktif di komunitas literasi bernama MAJABACA. Pada tahun 2020 buku pertamanya terbit secara indie dengan judul “ Tidak beraturan “ sekumpulan puisi dari sejak Sekolah menengah pertama. No hp : 085520742899. Instagram: @bbojes _ .Twitter: bbojes_