Wanita Dandang Pariuk
Tidak ada memang,
Kepandaian lain wanita yang hampir setengah abad itu
Selain mendendangkan kecintaannya di ruang belakang rumah
Ramuannya dirapal pada tiap asap kepulan
Terlalu lusuh, kupandangi atap rumbia belakang
Dimakan asap-asap gelap; tiap-tiap hari. Senantiasa berhiasan lawah
Dalam berapi-api kemudian, dituangkannya cinta pada tungku-tungku penanak
Kayu dipondok sudah termakan air hujan rupanya
Seketika mengepul
Asap kecintaan, asap kasih sayang; dikata orang
;yang bukan orang berada.
Wanita lusuh kemudian bergegas
Mengumpulkan para buah hatinya
Menikmati rebusan ubi jalar liar belakang parak tanah pusaka,
nasi putih yang ditanak dandang pariuk, juga daun singkong yang baru pucuknya saja.
Padang 2024
Wanita Dandang Pariuk (II)
Selesai menikmati ubi jalar dengan para buah hati,
Wanita dandang pariuk bergegas pula dengan songkok hitam dikepala
Turut serta dengan beberapa alat kerja yang penuh arang pinggulnya
Ditata rapi dalam karung goni bekas; pariuk dandang, kuali lusuh, dan kancah rendang
diikat tali rapia berwarna
Uni Haji butuh seekor kambing guling dan seekor jawi yang hendak direndang
Meminta suruh pada wanita dandang pariuk yang masyhur dengan kerja dapurnya
Adat hilir memang,
Adat orang berpunya, kataku!
Apa-apa kerjanya tinggal gesek kantong saja
Wanita dandang pariuk memikul goni lusuhnya
Sembari berdoa, anaknya tidak bernasib sama
Padang, 2024
Toples Kue Ibu
Hanya tersisa sepekan lagi rupanya,
Pekan terakhir dalam kalender kelaparan tahun ini
Adik mengelilingi pasar sepenuh hati, melempar mata bebas kanan kiri
Kata Ibu, sebagai ganjaran puasa sempurna
Pasar kian rami sorak-sorai penjual baju bekas, baju baru, baju rayo
Sebelah kiri, lapak penjual bumbu randang, lengkap dengan kancah dan alat pengacaunya
Sebelah kanan, khusus lapak daging segar
Adik menunjuk-nunjuk pada baju bermotif pisang warna kuning
Menangis minta dibelikan
Lagi-lagi kata Ibu, sebagai ganjaran puasa sempurna
Geser sedikit ke dalam, kutemui aneka bentuk kue rayo di toples kaca mahal
Komat-kamit mulutku yang pucat merapalkan segala pinta kepada Ibu
Tapi Ibu jawab dengan lemah:
“Hanya tersisa pembeli daging setengah kilo saja, nak”
Padang, 2024
Toples Kue Ibu (II)
Alas kaki di depan pintu rumah kami sudah lebih enam pasang
Beberapa kerabat Ibu bertandang, juga kenalanku semasa sekolah
Seraya mengantar beberapa kawalan fatsun istiadat beraya
Ibu datang dari dapur
Membawa beberapa gelas minuman dingin, setengah berwarna merah sisanya hijau
Beberapa kerabatnya tak kukenal dekat,
Karna jarang memberi amplop raya dengan nominal besar
Beberapanya lagi, senang kubuat pura-pura lupa saja
Karna tiap tahun tak pernah alfa menanya, kapan kau dipinang orang kaya?
Ibu memandatkan agar mengeluarkan toples plastik yang tersimpan di atas lemari
Pertanda rumah kita juga ikut ber-raya
Dalam langkah ragu, penuh malu-malu
Kulihat isinya,
Rakik dan rengginang tertawa padaku.
Padang, 2024
Kali-Kali Bapak
Bapak sudah mengeja kepada Tuhannya kepetang subuh
dua kali, tiga kali, lima kali
Bapak sudah bertapa lusa yang lewat
enam kali, tujuh kali, sepuluh kali
Demikian pun Aku,
sudah kembang-kempis benak ubun dibuatkannya
meraba-raba antara ventilasi kosong udara
Kali-berkali lewat beberapa kali,
Menertawai kami yang terperangkap dalam pagu-pagu atap rumbia
Beberapa pasang ekor nyamuk telah sedia menyantap
kulit bapak yang lusuh pedih bau keringat
Beberapa tetes gerimis mengecap wajah kami,
yang tengah merapal mimpi di bawah atap terpal persegi
Mimpi agar dapat bersekolah tinggi
Walau atap pagu belum juga bapak benahi
Rosidatul Arifah, Mahasiswi aktif Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Beberapa karyanya telah dimuat dalam berbagai media cetak dan platform digital. Bisa dihubungi lewat Email : rosidatularifah578@gmail.com.