Di Bulan Januari
: Untuk K
I.
Tengah malam baru saja lewat
Ketika burung hantu mendayu-dayu
Seolah enggan diam di tempat
Seakan gelisah, merisakan sesuatu
Sinar fajar belum merekah
Ketika hujan bermukim di matanya
Terasa dini misalkan bersedih
Terasa dipaksa ia jadi melankolia
Subuh pun baru saja berdentang
Ketika hatinya dicambuk duka
Hari pun terlalu pagi baginya
Untuk menyeka air mata
II.
Mungkin daun-daun akan gugur
Persis seperti dua hari lalu
Ketika ada yang bergoncang
Dan aku akan tak ada lagi di sisimu
Hari pun segera lenyap
Dan kita dirundung cemas ketika senyap
Sedangkan genting di dada mulai bergemuruh
Dan kau pun aku, saling mendekap
III.
Walau lepas sudah jabat-erat jari jemari kita
Ketauhilah:
Ada yang tetap bergemuruh karena cinta.
(2021)
Menuju Rumah-Mu
Ketika aku berjalan sambil menutup mata melalui kegelapan malam
Sungguh pun tidak kudapati suatu halangan apa-apa.
Namun ketika aku berjalan dengan mata membelalak melalui kegelapan malam
Kakiku tersandung batu sekepalan tangan.
Sejak saat itu, aku mulai mengenal makna kata: "Hati-hati..."
Yang pernah dikatakan oleh seseorang kepadaku
Saat aku mau pergi, menuju rumahmu.
(2022)
Hatiku Adalah Ranting Pohon
Hatiku adalah reranting pohon
yang lurus dan tak berduri.
Suatu ketika, ranting itu kau petik di dekat pemukimanmu
Kau memilihnya di antara cabang ranting yang lain.
Ranting yang adalah hatiku itu
Kau genggam seerat mungkin
Menemanimu menyusuri belantara hutan yang bernama kehidupan
Dan mengibas segala rintangan yang berupa masalah.
Setibanya di tempat yang kau tuju,
ranting yang adalah hatiku itu kau buang tanpa sebab.
Mungkin kau lupa ia telah banyak berjasa
Dan kau memilih memetik cabang yang lain.
Hatiku yang adalah reranting itu
Kini terbaring di atas tanah
Terinjak-injak dan patah:
Tak ada yang peduli.
(2023)
Karena Jogja Hujan
I.
Dan sementara hujan semakin deras; di pinggir jalan, seseorang berteduh sendiri, lalu cemas, seperti gelisah menunggu hujan yang tak pasti reda.
Dan sementara malam semakin dingin; di dahan camar dua burung hinggap, lalu memencar, seperti tak saling mau berkabar.
Dan sementara detik jam bertek-tok, di rumah sakit, seseorang menunggu sambil berbaring, tak bisa tidur, seperti ingin bertanya:
"Apakah dia baik-baik saja di sana?"
II.
Saat hujan turun, rintik-rintiknya membawa setetes nada
Yang mengingatkanku akan sebuah partitur
Yang mendendangkan kekosongan
Aku tahu, kekosongan itu ada.
Ada di segala bentuk. Di segala materi. Di segala segi.
Mungkin juga di hatiku.
(2023)
Sajak-Sajak untuk-Mu
I.
Akankah masih cukup bila kulukis kerinduanku
Dengan tinta darah di selembar daun hatiku
—sebelum akhirnya kulayangkan menuju singgasana-Mu—
Jika separuh lebih sisa tinta darahku telah meluber melalui robekan luka-lukaku?
II.
Dalam kesepianku, aku ingin mencarimu.
Dalam perjalananku, aku ingin mengenalmu
Lalu kususuri kesementaraan ini
Menembus mendung duka langit resamku.
III.
Dengan air mata, akan kubuang seluruh peluh keraguanku.
Yang kutahu selalu menghalangi kerinduanku.
Dengan tinta nanah, akan kutulis keyakinanku di selembar kertas hatiku.
Yang lalu akan kulipat dan kuterbangkan menuju bahteramu.
Dengan berbisik-bisik, akan kugumamkan asma-asmamu di ruang sepi-senyapku.
Yang kutahu Kau nyata ada di dalam diriku.
IV.
Yang kukandung sejak muda
Yang kucita-citakan sampai tua
Yang menjadi pedoman langkahku
Hingga kelak
Hingga habis ditelan waktu
Aku dijemput, aku ditimang.
Badan terbujur, kembali.
Adalah mencintaimu.
(2022-2023)
Taufik Ismanto. Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang berdomisili di belakang Pesantren Al-Munawwir Krapyak itu, adalah juga santri Ngaji Filsafat di Masjid Jenderal Sudirman, Yogyakarta. Selain menulis, ia juga menggambar dan dua kali ikut serta pameran seni lukis. Instagram-nya: @topikismnt_