Renung Yang Tak Berdalih
Beberapa makhluk yang sombong
Kata-kata yang menusuk tajam
Tanpa berdalih
Seolah merenung
Dia bukanlah menampar diri
Itulah jaminan strategi
Sebab topeng itu sulit kita tebak
Ke mana ia akan mengumpat
Air mata pendusta di depan mata
Belas kasih yang meracun
Sebab itu tak pernah berdalih sedikit pun
Sebab musuh-musuh itu nampak tak kasat mata
Terkelabui sesaat
Hati keras dan menggoyahkan rasa
Sebab itulah nampak kasar
Manusia tak berdalih berada pada renungan yang alim
Tasikmalaya, 14 Juli 2021
Pucuk Surat Pada Sabtu Malam
Begitulah jadinya
Tulisan bertinta hitam pada malam hari
Dia menyampaikan sepucuk pesan padaku
“Berikanlah tenda itu ” Ujarnya pada kesepian
Lelahnya jalan yang menanjak pada keesokan
yang gelap gulita
Akan kudambakan pada sepucuk kertas yang kusut
Esok atau Sabtu malam akan kutemui
Di bale endah, tempat kita bersuamesra
dalam flamboyan kasih sayang
Ranah yang tak dijamahi
“Berani sekali kau sebut padaku wahai syahdu”
Amarahnya memerah bagaikan api yang membara
Esok pagi dia akan kutemui
Dengan membawa bingkisan makanan yang sudah matang
Sebab dia tak pernah makan kenyamanan dari sejak elega pergi
Baiklah kawan dermawanku
Sampai ketemu, pada kursi perdamaian
Kita diskusikan dan renungkan
tentang makna kebenaran seolah disembunyikan
Tasikmalaya, 27 Desember 2020
Sebelum Azan Magrib
Aku bercakap pada senja
Sebelum menunaikan kewajiban pada maha cinta
Aku meminta pada kemaruk senja
Selalu mengucap kata kasih pada yang mulia
Aku berpeluk mesra
Pada kemarin yang datang tanpa harapan
Yang di sana
Kau bersanding pada kelembutan yang kau inginkan
Aku melirik pada setiap bayang-bayang senyumanmu
Entahlah sedikit berkhayal ketika aku bercakap
Tapi roda perputaran hati tak bisa kubohongi pada saat ini
Aku merindukan perhatianmu pada setiap senja yang kau ucapkan
Wajahmu seolah cahaya lembayung yang bersinar terang
Padahal aku diambang pada cinta yang sesungguhnya
Pada saat keabadian malam menjemput warna indahnya senja itu
Aku ucapkan dari peluk jiwa ragaku
Selamat kau tunaikan ibadah pada sang maha cinta
Aku bersujud pasrah, padamu dan dirimu kuadukan
Pada sang pemilik rasa, pencipta butir-butir keindahan
Tasikmalaya, 16 Januari 2021
Karsa yang Membara
Dalam derap yang memadu pada garis kemenangan
Terdengar suara rata yang membisik pada telinga
Lampion kegelapan
Sinar kegagahan
Bendera kemenangan
Berkibar mengobarkan api yang membara
Pada sekian waktu saat menunggu dekat tembok yang runtuh
Lamunan akan lukisan semangat yang terpancar
Tampak puing-puing lelah yang luntur perlahan
Butir-butir keringat yang melelah
Saat kau luruskan hati pada arah di depanmu
Kuatkan kaki dalam derap juang
Tekadkan hati dalam semangat yang panjang
Esok atau lusa bahkan sepanjang ingatan atas takdir kuasa yang mendekapmu
Pada medan yang larang, karsa membara pada mega keabadian
Tasikmalaya, 12 April 2021
Selesai Tapi Tak Sampai
Kisah pilu diriku menguyam hidup
Sebab aku tak mampu membahagiakan
sampai rambutku berubah warna
Semesta yang lebih cepat memanggilku
Maafkan aku wahai kekasih
Sebab hari ini diriku tak sampai
Pada pelukan hangat yang setiap pagi kau lakukan
Diriku terbalik takdir yang menyekat
Sora-sorak aku berteriak lantunkan takbir
Sebab kutak tahu bagaimana yang terjadi
Dalam pikiranku, perjalanan ini sudah sampai
Dan aku bisa memeluk dan merasakan kehangatan dengan erat
Tapi ternyata tidak
Perjalananku selesai tapi aku tak sampai
Bukan aku tak sayang
Sebab waktuku bersamamu sebatas senja yang sekejap
Semesta menyudahi tugasku menyayangimu
Buah hati lembutmu
Ikut bersamaku menjamah jannahnya sang semesta
yang indah dan menyejukkan
Tugasmu wahai kasih
Perbanyaklah bercengkerama dengan pencipta
Sebab waktu bahkan tak ada yang mengetahui
Entah sekarang, esok atau lusa
Dirimu kan pulang ke alam kekalmu
Buah hatimu bilang rindu
“Ayah titip jaket kesayanganku” ujarnya
Janganlah menangis kasih
Kami merindukanmu
Kami mencintaimu
Kami menunggumu di jannahnya Sang Khalik
Tasikmalaya, 14 September 2021
Dadan Sutisna, lahir di Tasikmalaya, 15 Juli 1999. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Uiversitas Siliwangi. Moto hidupnya, "Rasa yang tak terlihat bisa merasakan indanhnya semesta, tapi hati yang tertutup sulit untuk mengagungkan buana."