Sepasang Kapal
Sepasang kapal itu menyusun dongeng, tentang perjalanan yang tak pernah sampai, pulau yang berpendar-pendar itu hanyalah ilusi malam seperti mimpi yang ditinggalkan angin di sela ombak.
Ada yang memata-matai: bukan untuk mengerti, tapi untuk mengaburkan batas antara riak dan rindu.
Angin berbisik kepada lautan lepas, matamu yang menerka lekat, seakan mencari jejak-jejak yang telah karam di antara sela-sela gelap yang runcing itu.
Di antara sela-sela itu, malam menyampaikan rasa kepada bulan yang menjadikannya pasang, dan kepada mata waktumu itu yang menjadikannya selamat pagi— senantiasa menunggu dengan sekecil-kecilnya angin yang berbisik.
Rumah di Ujung Jalan
Kukira, sebuah rumah di ujung jalan yang ada bunga mawar: masing-masing sudut diselimuti dengan malam dingin. Kudapati ada sebuah ruang kecil dengan api yang berpendar-pendar sendirian, kukira ruang itu cukup kepada api yang mati, kukira angin membawa pergi asap ke jalanan malam.
Kaukira bunga mawar dapat memadamkan bara bekas api yang membara dahulu, kaukira rumah yang telah dimakan hilang lelap itu dapat bersemi seperti bunga layu, kaukira angin kembali lagi bersama musim-musim lalu?
Kau Sampaikan Mawar Padaku
Hari itu kau sampaikan sesuatu melalui surat lisanmu, mawar katamu! Hari ini kutengok di pucuk rel kereta api, kebun mawar menari-nari mengikuti rel-rel kereta api. Kenapa mawar? Kataku hari itu, aku berduri! Kau yang selalu menusuk mataku untuk melihatmu sedangkan bunga-bunga di taman berceceran cantik.
Bahkan matamu seperti mawar yang menjadikannya sebagai pisau untuk menyayat dinginnya malam, dan kuberikan kau kulitku sebagai selimut yang menjadikannya pagi.
Aku, Angin
Hujan mengguyur taman bunga semalaman suntuk, adakah yang berani mendiamkan hujan yang terus mengguyur itu, dan kepada siapa kau menentang hujan yang telah turun? Tak ada alasan bagi bunga-bunga di taman menentang hujan yang telah turun.
Sebagaimana angin yang menerbangkan dirinya untuk bertemu denganmu, dan apabila aku berlari melewati angin-angin yang menuju ke dirimu: Barangkali angin menyerah untuk berhembus di sisimu, atau barangkali aku seorang manusia yang paling gigih; dan kau angin yang paling bebas.
Aku Saksikan Dirimu
ketika bunga-bunga bermekaran di taman, aku melihatmu sedang bercakap-cakap dengan bunga yang paling terang; ketika aku saksikan kupu-kupu yang terbang ke sana ke mari, kupu-kupu yang indah hinggap ke kepalamu; dan ketika angin membawamu pergi berhembus jauh sejauhnya.
kau bilang aku berkhianat, kepada siapa yang telah kau jadikan pengkhianat itu? apa yang sedang kau lakukan diam-diam kepada angin yang telah membawamu pergi: terbanglah! aku akan menjaga sisa-sisa abu yang telah kau buat semalaman.
Perihal: Tafsir
Kutelusuri jejak-jejak angin yang bermuara ke pesisir; matahari memata-matai jejak angin yang telah lalu semalam, dan kutemukan bekas jejak yang telah ditelan pasang.
Jikalau kutafsirkan kau sebagai pasang, kutangkap dan kupeluk kau waktu demi waktu; apabila kutafsirkan kau sebagai angin yang berlalu, jangan coba-coba kau menghembuskan daun yang pernah menjelma sebagai aku; ketika kutafsirkan kau sebagai matahari, kudapati aku yang menjelma sebagai bayang senantiasa menyiasati kau hari demi hari.
Bunga-Bunga Itu
Musim-musim itu telah berganti lagi; aku tak tahu lagi apa yang berganti pada musim-musim itu, apakah daun-daun gugur itu berhamburan, atau daun-daun hijau yang tumbuh mekar bersama bunga-bunga yang ada di ujung jalan itu, barangkali bunga-bunga itu mekar pada saat pagi yang ramai; dengan angin-angin yang sibuk dengan tugasnya, dan pada saat sore menerjang hari, angin-angin yang sibuk tadi; pergi dengan sendirinya.
Perihal bunga-bunga yang mekar tadi; aku ingin memungut bunga-bunga itu, dan aku ingin berbisik pada bunga-bunga itu, “kau milikku sekarang, dan takkan kuberikan kau pada sunyi-sunyi itu!”
Ia: Selembar Daun
Manusia itu berdiri diam menatap selembar daun yang menggantung pada dahan pohon besar; ia ingin selembar daun itu terbang jatuh ke tanah,
Ia ingin angin-angin menerjang selembar daun itu; Ataupun hujan yang mengguyur dengan lebat pada selembar daun.
Diharapkannya selembar daun yang menggantung itu terbang bebas dengan sendirinya, dan berlabuh tepat di taman bersama bunga-bunga yang berbaring abadi.
Attila Fayza Avtha lahir di Kudus pada 05 Juli 2003. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Stikubank Semarang. Memiliki hobi menulis, khususnya puisi dan cerpen.