Kehampaan Waktu
memerhatikan jam yang bergerak, kau duduk dengan tanganmu yang menguar bau bunga tanpa peduli, tanpa henti, dan kita adalah bayangan yang menghilang sebelum kita sempat menyentuhnya
"berjalanlah, jangan berhenti, meski waktu hanya memutar roda, meski kita tak tahu arah"
dan matamu bergerak menatap waktu, menggenggam angin yang terbuang sia-sia lalu hanya deru membawa kenangan tak berujung;
bayang-bayang yang tak akan pernah kita tangkap?
Sidoarjo, 2024
Menghimpit Malam
tubuhmu malam dan angin membawa percakapan yang tak pernah ditutup sebagai kesunyian yang tak pernah kita pilih, kata-kata merayap di antara ketakutan-ketakutan
malam seperti beban, dan tubuhku angin yang membawamu menuju sorga tak berpintu, tak bertuankan waktu
di sini, kepalaku berdiri dengan kenyataan dan mimpi, menelan bintang atau bayang-bayang yang semakin mengejar menunggu untuk dirindukan
Sidoarjo, 2024
Hujan yang Menghapus
menghapus jejak hujan berdiam di tanah dan waktu yang terkikis, kenanganku terbangun, langit berhenti dan turun bergantian bersama perjalanan
hanya genangan dan jejak kaki yang hilang juga bau tanah basah mengingatkan tentang arah mata anginmu, sayap-sayap patah, kata-kata tak sempat menguar lalu hujan menghapus semuanya
kita kembali ke tempat yang sama ke masa yang sudah berlalu
menatap genangan air, bayang-bayang kita yang tak akan pernah kembali, meminjam puncak dan lorong tubuhku terbuka semakin berjejalan
Sidoarjo, 2024
Di Ujung Senja
kau membawa kabar yang tak pernah aku tunggu, angin membawa debu, kau pergi
"di ujung senja, kita akan menemukan segala yang hilang di siang hari"
di ujung senja, bayang-bayang menghilang dan harapan tak pernah sempurna, daun semakin jatuh, wajahmu terpantul menimbulkan gempa dari puisi-puisiku yang semakin sedih
" tapi aku tetap menunggu meski tahu senja tak akan lama meski tahu malam akan segera datang mengambil semua cahaya yang tersisa"
kau hanya menunggu, di ujung senja ini, kelabang menamai dirinya sendiri, kupu-kupu keluar dari tubuhmu menghancurkan dirinya kesebagian tuhan memecah berwarna sendu dengan lampu itu
Sidoarjo, 2024
Kota yang Terlupakan
di jalan tubuhmu lengang, orang-orang memeluk kesendiriannya dan di langit, awan bergulung dengan serpihan masa lalu yang tak selesai
kota ini menyimpan sudut dengan bisu, mataku menyelipkan waktu di antara beton tua yang menenggelamkan ketiadaan
tak ada yang tersisa, kota telah melupakan kita
di sudut kecil itu, percakapan semakin sepi,
seperti angin yang menerpa dinding yang retak.
kota ini mungkin tak akan pernah kembali seperti dulu, tapi ia tetap hidup dalam bayang-bayang yang kita tinggalkan
Sidoarjo, 2024
Lepas di Laut
laut adalah tatapan ibu yang tau tentang hilang dan pergi, kapal-kapal terombang-ambing, kecemasan tak pernah habis menembus
di tepi pantai, akulah horizon yang semakin jauh, menunggu sesuatu yang tak kunjung tiba, di balik debur ombak, cerita kian hilang, nama-nama sudah dilupakan angin, kau ingin aku ingin pergi lebih jauh, mencari apa yang tak pernah kutemukan di daratan, dan laut hanya menawarkan ruang kosong, tak ada janji, hanya pengulangan
mataku menatap di sini, menunggu, dan kakiku terlempar menjadi jangkar yang paling berat,
yang tak bisa lepas dari tanah, meski laut terus memanggil untuk berlari tapi tetap terikat
Sidoarjo, 2024
Adnan Guntur kelahiran Pandeglang. Telah menyelesaikan studinya di Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga. Sekarang berdomisili di Surabaya. Pendiri Saung Indonesia (Sastra, Pertunjukan, dan Rumah Kreatif), juga aktif berkegiatan di Teater Gapus dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Kumpulan Puisinya ( Tubuh Mati Menyantap Dirinya Sendiri ( 2022 ) dan Sebagai Daun yang Tak Lagi Raib Terbakar oleh Darah Api (2023). Kumpulan Lakon (Tubuh di Pukul 11.11 (2022). Terkadang menjadi sutrada, aktor, pembaca puisi, perfomance art, mime, koreografer, juga NgeMC.
Pembahasan Puisi