Menyaksikan Kematian Bapak
Di ambang dhuha itu, aku terbangun oleh teriak serak
dari pejam singkat, setelah semalaman menunggui bapak
yang lekat menatap tarian Izrail, turun dari langit retak.
Rasanya, belum lama kutinggalkan lembar Yasin itu
di sisi pembaringan, serta kunyanyikan tahlil
di telinga tua yang tampak ganjil.
Barangkali, sejak semalam paruh-paruh gagak telah mengincar
dari ketinggian menara, dan mengintip dari jendela
saling siaga, untuk menyambar ruh, begitu lepas dari raga.
Hening yang ditembakkan orang-orang
di atas tangis ibu dan nafas bapak yang satu-satu
dan ujung kaki yang telah layu menghantam dadaku
:tak lama lagi, bapakku akan mati, si yatim akan menjadi gelarku.
Mei, 2021
Kematian Pertama di Rumah Ibu
Tubuh bapak diselimuti kain jarit, setelah ruhnya pamit
kamar ini riuh oleh ratapan dan tangis kehilangan
terbayang hari-hari depan, tanpa sosok pahlawan
di sudut, kami bertiga saling memeluk, khusyuk
dalam ratap kesedihan.
Orang-orang dalam pakaian hitam, dan bendera kuning
aku makin merasa asing: benarkah bapakku telah mati?
seingatku tak pernah aku mimpi tanggal gigi.
Jenazah bapak dimandikan, dipakaikan kain kafan
aroma wangi daun bidara, dan semacam minyak entah apa
menyerbu penciuman.
Kata ibu, wajah bapak tampan dalam kematian
dan ia pergi dalam wangi.
Mei, 2021
Samsara
Pada ceruk bata yang kikis oleh lapuk waktu
kujenguk masa lalu
yang bukan dari kehidupan saat ini.
Barangkali dulu aku terlahir di tanah ini
dari Rahim seorang wanita brahman
atau putri sebuah kerajaan yang hendak dipinang
oleh pangeran yang bersumpah selibat.
Pantas saja mimpi memanggil-manggil:
kukunjungi sebuah gerbang negeri yang sebagian telah runtuh
dalam kibaran kain putih, dan rambut tergerai memanjang.
Kulihat sungai tak jauh dari sini, di pipiku sendiri
namun mataku nyalang menatap kalung bunga Padma
yang seperti tak asing bagi dendam kesumatku.
Februari 2022
Percakapan di Dapur Ibu
Wangi nasi yang Ibu tanak dalam periuk tua
bahkan sudah menggedor-gedor penciuman
sebelum mataku sepenuhnya awas.
“Kumur-kumur! Cuci muka!”
Teriaknya, ketika kudamba semangkuk air tajin
(gurihnya kukenang sampai tua).
Derak kayu yang dilahap api, dan hangat dari tungku
Memanggilku mendekat, untuk bertanya:
“Apakah itu bara yang sama yang memakan tubuh Sinta?”
“Bukan,” Bapak menjawab dari duduknya di lincak bambu.
Asap kopi mengepul dari cangkir dalam tangannya.
“Api tak membakar orang-orang suci.”
Sejenak aku termenung untuk Sinta yang malang
dan Rama yang jumawa. Serta Rahwana yang dikutuk kebodohan sendiri.
Laki-laki rela berperang demi perempuan semata,
atau untuk belaka harga dirinya?
Februari 2022
Sekian Jarak, Sekian Rindu
Kesiur angin pancaroba tiba-tiba mengantarkan desir,
seperti ada yang ganjil: aroma bidara itu meneror lubang hidung.
Bau kematian, bau kehilangan.
Telingaku seperti mendengar keluh lelahmu, Bapak
dalam tidur setengah sadarku.
Di kamar depan dengkurmu mengacaukan pertahananku
sebab dalam kesetengah-sadarku aku pun sadar:
aku hanya sedang merindukanmu.
Dan kehadiranmu, tertawan dalam sekian jarak tak terukur.
Februari 2022
Linggar Rimbawati, terlahir di Jambi, namun selalu merasa Solo adalah rumahnya. Tulisannya bisa dibaca di Tribun Jabar, Mojok, Kompas.id, Magrib.id, Difalitera, Magdalene. Saat ini mengajar di Unit Pengembangan Bahasa UIN-Jambi. Dapat disapa di email linggarwati48@gmail.com, FB Linggar Rimbawati dan IG @rimbacilious.