Kepada Jogja
Kepada Jogja yang dikata istimewa
Saban hari dalam September di pakansi,
ujung perahu kami berlabuh pada tilam dan kapas yang belum dijahit.
Tepiannya sudah disobek-sobek, kian dimasukpaksa perca padanya.
Sedang jarum penjahit masih buntu, Tuan.
Dan kau percaya saja pada si penjahit yang matanya sudah buta.
Di dalam lorong Demangan gerimis diiris-iris,
sedang aku tidak memakai apa pun kecuali hati.
Di sini langit sudah abu tua
Sementara awan hitam sudah kau gulung-gulung bersama tembakau racik.
Di bawah atap langit paling indah yang Tuhan gambar
Berkelakar ragam candaan lalu-lalang
Sukar kita pastikan macam terangnya lampu jalan
Dan beberapa deret lainnya menjualbelikan iba.
Tembakau dan awan yang telah kau gulung,
Asapnya sama-sama mengepul antara Lempuyangan hingga Demangan.
Tandang Puan Kemenyan
Tandang Puan ke negeri seribu satu pentatar
dibagikan sajaknya agak tiga atau empat pada kami,
jika Tuan Nyonya berkenan membaca, begini kiranya..
Bergelimak pandang Puan sesampai merangkak dini hari
Mendulang berbagai ribu aroma, menyita segala-gala indra
meski tiada aroma yang teramat disukainya; kemenyan kencur campur lada
susah-susah ia mendongak kepala ke segala tepas di kampung herbal
nihil, kerana bukan talangnya.
Lawat saja akhirnya ia,
Berpapas Puan pada papan nama kota
Puan mengeja beberapa buah bukan dalam huruf ibunya
berbata-bata, Puan tidak bisa mengeja.
Lawat saja akhirnya ia,
Puan sahaja tidak sewa barang satu atau dua peneroka jalan
Sebab ia berkukuh dengan yakin
tersesat di Jogja sama saja menjerumus ke nirwana,
Pikirnya.
Isyarat Kepala Bakulan
Pun sudah Karimun beri segala-gala arta
Hasil jual susahnya sedari senja
Memikul berbagai ragam warna bakul
Di sebelah kiri, untuk perutnya sendiri
Sebelahnya lagi untuk beranak dan beristri
Sudah tiga malam meradang, ini yang keempat
Disorak-maki ia sebab tak lihai mengemasi doku
Sedang gerimis dan kilat tengah adu lihai
dihadang kericuhan hoyak pasar malam.
Doku pada saku bakul jenjengan, ia bawa antah berantah
Harap-harap bertemu,
Si rantau yang maha pengiba
Dari subarang negeri damai sentosa
Hingga dibeli empat atau lima bakul jenjengnya.
Puan Pembakul
Telah kelana Puan yang lainnya,
meneriaki nasib sepanjang jalanan agung keraton sultan
menjaja-jaja, berdagang iba
Bersimpuh dengan ember enyaman dan tali pengikat di belakang.
Puan terjerat marat, sikap paling melarat
Puan merangkak, mengukur gerak peksi burak
Berpose Puan demi majalah si nona
Dimintai tolong si pemuda; orang terpandang, orang anjungan
dijepit iming-iming sangu seberapa
dilukis Puan ke dalam sketsa paling merasai ini tahun,
Puan mesti manut, sebab ini karya dikata si pemuda
Senyum setilik terbingkai di pipi Puan
dahi menyeripit memaki baya, kulit memusat kulai berlapis-lapis,
menyeringai ia sebab diberi ganjar
konon diabadikan pula dalam sajak si pujangga.
Kikik Bengik
Kelam dan dingin adu ribut ini malam
Setia mendekap lorong-lorong kerlap Bringharjo
Teriak meneriaki gadis kuyup hasil siteru kelam dan dingin
Namun Puan benawat rupanya, tiada terdengar sorak penjaja
Puan Tuan amat lihai landai di sini,
Mengeja kami yang baru menapak kaki hitungan hari
macam gelandang tak tahu pada rayon
mengelap-ngelap mata, pula berkaca; mata kami tersingahak, terbuladak!
Gamang,
Jauh kami merapah ini tanah
rundung kami, kejut, sebab terbelenggu dengan panorama itu-itu saja
dikira di kota terhamba piawai ini segala bakal dimanja,
Mata kami memanas, mengincar segala sanding jalanan
Nenekanda mbah rungkuh, lihai menanti di gundukan reja-reja
Sebelah timur, gaek renta ulung memunguti sagala yang tersisa
Sebelah barat, lima beranak beredar menyandangi goni-goni
memintas mereka pada segala yang bisa dikemas
Gerimis mengikik tawai Jogja malam ini
Kami turut serta terkikik pula
pada segala yang dihamba mereka dari luar sana
“Sialan. Sama saja, rupanya!”
Keluh terakhir kami itu malam.
Rosidatul Arifah, Mahasiswi aktif Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Beberapa karyanya telah dimuat dalam berbagai media cetak dan platform digital.