Di Hari Kepergianku Kelak (I)
Mata menghunuskan derai-derai kepulangan,
Peraduan sia-sia pada akhirnya hanyalah temaram.
Semu dan satu-satunya derai adalah kenangan.
Tidak ada lagi sentuhan itu
Tidak ada lagi ajakan itu
Tidak ada lagi rumah itu.
Bila waktunya tiba,
Teriakanlah ini dipemakaman.
Dengan kecemasan dan kegembiraan,
Biarkan bunga-bunga itu berguguran,
Biarkan derai tangis itu mengisi penuh dalam kepergian.
Tidak ada sejati yang tak mati,
Selamanya akan menjadi unggunan api;
Terbakar sehangus-hangusnya.
Rebahkan doa-doamu pada ketakutanmu sendiri,
Karena tidak ada lagi kepulangan
Tidak lagi ada gusar,
Pekak tawa saja sudah sirna.
Tidurkan di samping jasadku,
Agar kekhawatiran di seisi kepalamu sirna dan tak lagi menjadi tangismu yang getir.
Di Minggu Kita yang Panjang dan Seninku yang Bertaruh
Kulihat hari semakin menakutkan,
dan mulai tidak rupawan.
Tanda tanya besar dari sebuah kehilangan,
mulai memasuki isi kepala serupa angin malam yang tak pernah kita lewati kembali.
Malam tidak pernah sebegitu menakutkan dari biasanya,
dan di bawah terang lampu jalan aku dapat melihat bagaimana seseorang berkata ‘tidak’ dan pergi begitu saja.
Tenggelamkan saja aku ke dalam sepimu,
jika ramaiku tak mampu menyelamatkanmu.
Hantamkan saja jutaan bahagia yang seketika menjadi sia-sia,
dengan itu kau mengelabui semuanya dengan sempurna.
Pulanglah pada sepimu,
dan rayakan segala hebatnya kau dalam meninggalkan.
Racun Kedaluwarsa
Kalimat itu mengamankan,
kalimat itu menyelamatkan.
Kau yang sederhana meneduhkan,
dan lagi-lagi aku terlelap dalam pelukan.
Apa yang kau khawatirkan?
bawa dan serahkan segala ketakutanmu
kita rayakan dan bersulang atas kemahiranmu dalam berterus terang, dan kemahiranku dalam merayakan air mata.
Kau lantas bermain peran,
hingga semuanya tak lebih dari sebatas buaian.
Kau jatuhkan racun kedaluwarsa ke dalamku
dan bersorak seluruhku mengaminkan dirimu yang sempurna membinasakan.
Setelah semuanya berakhir,
kau adalah lihai yang terampil mematikan;
lalu hilang
lalu aku terdiam.
Esok dan Kemarin adalah Sama Saja
Esok tak lebih dari kemarin,
dan membaca gejala adalah hal yang paling sakral.
Tidak ada puisi hari ini,
semuanya hanya tersisa rangka dan luka yang nganga.
Berdansalah sesukamu, diiringi riak gejolak bahagia sepimu.
Menertawakan saja aku tak sanggup, karena kemarin adalah mimpi buruk hari-hari esok.
Putar saja musik yang mampu menghantam segala kelihaianmu itu,
lajukan kuda besi yang mampu membuatmu menangis getir.
karena aku tidak akan selamat, dan menolak diselamatkan.
Aku masih tenggelam di dasar dadamu yang dalam tak berdasar;
dan berharap karam bersama siasat-siasatmu yang sempurna.
Pertanyaan Tanpa Ujung; di Hari Kepergian
Kau beranjak,
Beberapa saat setelah aku melihat fajar dari matamu yang ranum.
Kau menghapus jejak kita,
Beberapa saat setelah kumerakit sampan untuk mengarungi luas tubuhmu.
Di hari kepergianmu,
Senyumanmu, adalah hal yang paling kurindukan,
lukisan milik paduka raja paling sempurna.
Di hari kepergianmu,
Aku memeras habis air mata yang akan kusajikan pada sebuah gelas di perjamuan makan malam;
Untuk kutenggak habis pada perayaan mati rasa.
Puisi-puisi telah kehilangan nyawa,
Ini semua mungkin lebih tragis dari kisah romansa yang ada.
Kepergian yang meninggalkan tanda tanya sekaligus luka yang menganga.
Tapi kau terkenang abadi,
Dalam remang nihil cahaya sunyi,
Aku pastikan singgasanamu tidak terganti.
Muhammad Zaidan
@sir.aden