Kuah Bakso dan Ibu

04/10/2024

 

Gerasak-gerusuk

Kepada seluruh kepala bandit rongsokan
Kepala gelandang kehormatan, merdeka oleh emansipasi
Komando pekerja buruh dan tambang, merdeka oleh keadilan 
Sementara pengayuh ontel berkarat masih telaten dengan tapal besi bekas injakan

Ini kota dihamba-hambakannya hamba
Ini kota digelaktawakannya lalu lalang kebisingan
bergeser utara, selatan, timur raya
begitu mereka mengenalinya
dengan secuil harap-harap
yang datang lalu membawa berkat: dibelikannya dua tiga potong baju motif Jogja

Dibikinkan oleh mereka suguhan minum dan makan
kepada tiap-tiap yang lewat, 
sedang keroncong sendiri mereka parut di perut,
di sebelah anak-anak dan balita setia pulas menunggu rezekinya

Kepada yang berlalu lalang,
di tanah ini
tanah mereka jua, yang mengayuh sepeda ontel tua
mereka menua dengan harap-harap ada penumpang
satu atau dua saja senja ini ke arah selatan. 
Rumah mereka, ramah. 

Yogyakarta, September 2024

 

Nyanyian Rakyat Kecil

Terpatah-patah, gadis malang berjalan dengan luka berperban perca
Malam hari datang ke penginapan menenteng lima ikat kembang 
di tangan mungilnya, sudut kota paling kumuh abadi
penuh luka bekas serpihan kaca yang nganga menagih dijahit empunya. 

Penginapan sudah sedia menanti, gadis kecil dengan badan penuh daki
Sepasang kardus bekas minuman soda digelar, 
ia bentangkan setinggi bahunya,
di emperan gedung tinggi serbaguna 
Sewaktu gelap menerkam, kulit gadis berangsur membusuk dimakan perban.

Sudah lima entah enam malam
Gadis menenteng kembang bunga, dijajakannya sepanjang jalan raya
Sebab meminta-minta, tidak pernah diajarkan moyangnya. 

Padang Pariaman, Juli 2024


Kelakar di Pusara

Sudah berselang lewat satu hitungan bulan
Bunga pemakaman lenyap digusur cempaka serta runtuhan sarang tempua
Kerikil sungai dimandat tetua adat agar dilingkari tiap sudut pusara
tiada lagi tampak satu jua.

Kerikil sungai, bunga rampai dan anak cucu sekarang sama saja
Belum tampak pertanda akan bermukim antara satu dengan lainnya
Semenjak menjelang satu bulan umur tanah pusara
Belum terinjak oleh mereka, gundukan tanah mulai mendatar 

Sementara di alam lainnya,
Pesta digelar orang pada rumah anak cucu dan menantu
kue-kue aneka warna telah terhidang dalam piring-piring kaca
kerikil-kerikil sungai dibasuhi air suci mereka muliakan dalam wadah 
satu persatu dipisah, bertanda hari terhitung sudah.

Genap empat puluh kerikil mereka asingkan dari onggokannya
Ayah mangut-mangut menerima,
Genap empat puluh pula aneka kue-kue lengkap dengan induk sambalnya
semua telah dihidang rapi dalam piring kaca, 
disediakan pada tamu-tamu agar rela membagi doa 

Sementara, di pusara sana semak mulai menyemai pada akar
Berpacu-pacu agar menjadi sukar dan belukar
Sembari menunggu doa-doa yang sudah dibayar
yang dipanjatkan pada tiap lisan tamu-tamu anak cucu
Kelakar! kataku, pada Ayah.

Padang Pariaman, Juli 2024

 

Kuah Bakso dan Ibu

Konon katanya,
Kudengar langsung omongan rundingan perkara tanah pusaka
ternyata memang telah dijual suami Ibu dengan orang-orangan kaumnya.

Tapi tetap saja
Kepada kami, Ibu selalu enggan mengakuinya.
Kepada kami, Ibu selalu simpan rapat-rapat aib suaminya
Entahlah lagi aib yang mana, 
sebab bagi kami tiada lagi aib yang berarti selain sesal hati berbapak tiri
 
Satu setengah hektar ladang mestinya masih kepunyaan kami, menurut pada ranji nenek
Saban hari juga telah dijual hasilnya pada tengkulak pasar pekan
Kata suami Ibu sudah ada nota kesepakatan, 
yang didapatinya dengan sedikit paksaan cap jempol dari Ibu
Sebab memang, Ibu dan kami tiada yang lulus ilmu tulis baca.

“Entahlah.. aku hanya tidak siap dipanggil janda”
Rungut Ibu sembari menyeruput kuah bakso yang dicampurinya nasi putih
Sementara isinya ia berikan semua kepada Adik,
yang menangis-nangis sedari pagi meminta dibelikan satu porsi. 

Padang Pariaman, Juli 2024


Balada Surat-surat

Kepada Ningsih dan tukang pos yang selalu curiga

Wanita dan konsep emansipasi,
Telah puan tuntaskan seluruh buku teori dalam rak kaca
Puan menganggap, kebebasan hak segala bangsa
Juga kebebasan pada bacaan dan memilah apa yang akan dibaca.

Sudah delapan buah terhitung,
Bundelan kertas dari cap pos yang sama ditumpuk sudut ruangan
Satu hari, satu lembar
Telah lembur Ningsih ikut andil menghitung jumlahnya.

Berkali-kali Ningsih gugatkan protes kepada oknum penerima
“Puan, semua surat layak menerima hak untuk dibaca, sekalipun ia hendak dicerca atau dibakar setelahnya”
Puan belum hendak ambil peduli, 
Katanya, 
untuk merdeka emansipasi siapa boleh larang?

Kita telah sama menyamun langkah,
sebelum berderai-derai pada surat cerai. 

Padang, Juli 2024


Rosidatul Arifah, Mahasiswi aktif Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Beberapa karyanya telah dimuat dalam berbagai media cetak dan platform digital.