Kutub di Dada Kita dan Puisi-Puisi Lainnya

17/03/2025

 

Seperti Belukar

ini rindu semakin subur di kepala
ia seperti belukar yang terus mengakar
di pekarangan rumah ibumu.
riuh seperti kebakaran hutan
dalam mitos-mitos masa depan.

ia jadi peziarah bagi luka
yang menolak padam.
jadi aamiin yang menyalak
dari mulut seorang pendoa.

ini semua harus segera kuakhiri
ada banyak bunga kasih
yang mesti tumbuh di dada
dan pekarangan.

aku akan pergi 
ke goa paling purba: 
muktamar waktu, satu siasat
perbekalan senjata

dan pada pertemuan nanti
akan kutumpas rindu
dan biarkan belukar 
kubabat sehabisnya

singga aku, kau, dan ibumu
bisa melihat pagi dengan bunga bermekar,
lebah pembawa gula. dan menyaksi luka 
yang terbunuh di lamping senja.

 

Kutub di Dada Kita

biarkan
biarkan aku bertanggung jawab 
atas kegaduhan ini
percaya atau tidak, yakinlah
bahwa hurung perapian di tubuhmu-di tubuhku
tak lama lagi menggeli hangat

bukankah kau tahu bahwa rindu
adalah bongkah-bongkah es
yang tanam di dada kita
dan tangan yang saling genggam
adalah jawaban atas pertanyaan:
kapan bongkahan es itu lebur
bersama waktu

sekarang tinggal kita pikirkan
bagaimana nasib penguin, beruang,
dan serigala, dan semua penghuni kutub 
kehilangan habitat seiring temu 
terus menanjak khidmat

 

Isyarat

kau adalah kembara
bagi aku dan mereka 
para pemburu musim

di tepi geladak
antara tiang-tiang pancang
aku membaca linu pada sendi, 
tulang, mata, dan pipi 
yang sempat mengikis usia 
di rentang garis pantai 
atau lekuk pegunungan 
dan lembah-lembah tubuhmu

debur ombak dan angin malam
menuntun layar menuju tepi
mengantar aku kepada sunyi

biarlah, aku mengenang tembang 
dan rindik suci di halaman-halaman pura
sebagai cendera mata

biarlah, aku mengingat harum kasih 
dari serbak canang dan kembang 
di telinga gadis-gadis sebagai satu isyarat

: aku, akan kembali

 

Sampan-Sampan

di atas genangan 
sampan-sampan terus dikayuh
sejurus angin menerjang tubuh renta 
yang kerap jadi bunga keluarga

ia pergi ke tengah, menuju hampar berkah
yang likat pada celah-celah jala
lantas landas ke gigir, melongok harap dan doa
yang tunas pada tebar bebiji jagung

terkadang ia layar ke penjuru, 
menuntun senyum pada lekuk teluk 
dan tanjung yang tenang

riak air dan burung layang
sebaik-baik pendongeng
saat nelayan kurus atau petani tua
atau berpasang pelancong
tak pergi seperti sedia

sampan-sampan
ia telah memecah waktu
mengantar hidupan manusia
ke tepian bahagia

 

Merawi: Ingin Kembali

atas nama cinta 
yang tak kunjung tenggelam
izinkan aku kembali 
meski pincang 
atau merangkak 
dengan luka-luka 
yang likat di sekujur

pertapaan kini 
terlalu gelap dan pengap
aku ingin kembali 
pada titik tafakur 
yang bukan hanya diam

kembali pada zikir yang vokal
pada sembahyang tubuh
pada gelap atau terang 
yang harus kugali 
dari jejak-jejak sejarah 
atau dedak-dedak hidupan
atau sisa-sisa perasaan 
yang kadang semu

aku ingin kembali
merawi 
dari punggung ke panggung
dari kata ke mata 

dari riwayat ke isyarat

 

Berderap di Udara

dari kubah-kubah mushola
kematian berderap setiap pagi
ia terbangkan nama-nama 
menuju pulau seberang 

menggiring ketakutan
ke gendang-gendang telinga
membangunkan kuduk 
yang lama tidur di sekujur

keangkuhan, sombong, dengki
menyigi ke jurang-jurang renung
lalu beruntai dongeng kubur 
ramai melamar bayang kami

entah harus berapa kematian lagi
singga kami mau membasuh muka
pada sendang suci-Mu

entah harus berapa nama lagi
yang terbang menuju hariba-Mu
singga kami sadar, bahwa nama kamilah
yang lekas berderap di udara

entah harus berapa lama lagi
kami tersungkur 
tapi tidak pada sujud-Mu

 

Azis Fahrul Roji. Pernah menempuh perjalanan kepenulisan di Tasikmalaya. Kini aktif menulis puisi dan artikel. Beberapa tulisan terbit di media daring dan antologi bersama. Instagram @fahrulrojo_