Seperti Belukar
ini rindu semakin subur di kepala
ia seperti belukar yang terus mengakar
di pekarangan rumah ibumu.
riuh seperti kebakaran hutan
dalam mitos-mitos masa depan.
ia jadi peziarah bagi luka
yang menolak padam.
jadi aamiin yang menyalak
dari mulut seorang pendoa.
ini semua harus segera kuakhiri
ada banyak bunga kasih
yang mesti tumbuh di dada
dan pekarangan.
aku akan pergi
ke goa paling purba:
muktamar waktu, satu siasat
perbekalan senjata
dan pada pertemuan nanti
akan kutumpas rindu
dan biarkan belukar
kubabat sehabisnya
singga aku, kau, dan ibumu
bisa melihat pagi dengan bunga bermekar,
lebah pembawa gula. dan menyaksi luka
yang terbunuh di lamping senja.
Kutub di Dada Kita
biarkan
biarkan aku bertanggung jawab
atas kegaduhan ini
percaya atau tidak, yakinlah
bahwa hurung perapian di tubuhmu-di tubuhku
tak lama lagi menggeli hangat
bukankah kau tahu bahwa rindu
adalah bongkah-bongkah es
yang tanam di dada kita
dan tangan yang saling genggam
adalah jawaban atas pertanyaan:
kapan bongkahan es itu lebur
bersama waktu
sekarang tinggal kita pikirkan
bagaimana nasib penguin, beruang,
dan serigala, dan semua penghuni kutub
kehilangan habitat seiring temu
terus menanjak khidmat
Isyarat
kau adalah kembara
bagi aku dan mereka
para pemburu musim
di tepi geladak
antara tiang-tiang pancang
aku membaca linu pada sendi,
tulang, mata, dan pipi
yang sempat mengikis usia
di rentang garis pantai
atau lekuk pegunungan
dan lembah-lembah tubuhmu
debur ombak dan angin malam
menuntun layar menuju tepi
mengantar aku kepada sunyi
biarlah, aku mengenang tembang
dan rindik suci di halaman-halaman pura
sebagai cendera mata
biarlah, aku mengingat harum kasih
dari serbak canang dan kembang
di telinga gadis-gadis sebagai satu isyarat
: aku, akan kembali
Sampan-Sampan
di atas genangan
sampan-sampan terus dikayuh
sejurus angin menerjang tubuh renta
yang kerap jadi bunga keluarga
ia pergi ke tengah, menuju hampar berkah
yang likat pada celah-celah jala
lantas landas ke gigir, melongok harap dan doa
yang tunas pada tebar bebiji jagung
terkadang ia layar ke penjuru,
menuntun senyum pada lekuk teluk
dan tanjung yang tenang
riak air dan burung layang
sebaik-baik pendongeng
saat nelayan kurus atau petani tua
atau berpasang pelancong
tak pergi seperti sedia
sampan-sampan
ia telah memecah waktu
mengantar hidupan manusia
ke tepian bahagia
Merawi: Ingin Kembali
atas nama cinta
yang tak kunjung tenggelam
izinkan aku kembali
meski pincang
atau merangkak
dengan luka-luka
yang likat di sekujur
pertapaan kini
terlalu gelap dan pengap
aku ingin kembali
pada titik tafakur
yang bukan hanya diam
kembali pada zikir yang vokal
pada sembahyang tubuh
pada gelap atau terang
yang harus kugali
dari jejak-jejak sejarah
atau dedak-dedak hidupan
atau sisa-sisa perasaan
yang kadang semu
aku ingin kembali
merawi
dari punggung ke panggung
dari kata ke mata
dari riwayat ke isyarat
Berderap di Udara
dari kubah-kubah mushola
kematian berderap setiap pagi
ia terbangkan nama-nama
menuju pulau seberang
menggiring ketakutan
ke gendang-gendang telinga
membangunkan kuduk
yang lama tidur di sekujur
keangkuhan, sombong, dengki
menyigi ke jurang-jurang renung
lalu beruntai dongeng kubur
ramai melamar bayang kami
entah harus berapa kematian lagi
singga kami mau membasuh muka
pada sendang suci-Mu
entah harus berapa nama lagi
yang terbang menuju hariba-Mu
singga kami sadar, bahwa nama kamilah
yang lekas berderap di udara
entah harus berapa lama lagi
kami tersungkur
tapi tidak pada sujud-Mu
Azis Fahrul Roji. Pernah menempuh perjalanan kepenulisan di Tasikmalaya. Kini aktif menulis puisi dan artikel. Beberapa tulisan terbit di media daring dan antologi bersama. Instagram @fahrulrojo_