Layar Jeda: dan Puisi-Puisi Lainnya

11/04/2025

 

Mendengarkan City Pop, 1

Nina Atsuko - Wonderland Yuuyami City

tiap kali mendengarkan city pop
aku merasa semua yang kuketahui
semua tentang kota, tentang kesepian
tentang matahari jam setengah 6 sore 
di atas bising
yang membatu di dalam 
minuman-minuman kaleng
dalam vending machine 
yang kekal, yang mungkin berasal 
dari surga dengan interior gaya 80an
Tentang kerumunan orang yang sebenarnya
tak ada
hanya gerak-gerik screensaver
berleret-leret menyangkal apa yang nyata
Yang nyata menjadi tak ada
orangtuaku tidak pernah bertemu
tak pernah ada pukulan, teriakan,
lengan kaki terkulai
air putih sesak napas terjebak 

pikiran sendiri
mereka hanya tokoh masing-masing
dalam cerita yang lain
yang bergerak-gerak berdansa mungkin
bersama bayangan oranye
lampu jalan jam 7 malam
ketika pulang kantor atau
habis kelas malam 
di sebuah kampus kota besar
bungkus-bungkus snack yang membisikkan
kejadiannya sendiri
yang bukan ini, terisolasi dalam adegan jauh
yang bukan di sini
yang sangat-sangat hening kecuali

Bahwa yang nyata tak perlu ada
Kota-kota, sepotong musik di jendela lantai 12
bayangan: yang nyata hanya bayangan
berbaring di bawah kaki seseorang 
yang sedang kehausan
di jam-jam tertentu 
dalam putaran lempeng vcd
yang tak begitu tahu

bahwa yang nyata tak perlu ada
sepertiku. Tak perlu mati. Tak perlu bunuh diri. Tak perlu bermimpi
aku tak pernah di sini. Atau tak perlu.

 


Mendengarkan City Pop, 2

Titi DJ - Hadirmu 

mari memikirkan diri sebagai
sosok pekerja kantoran
di panorama melambat
grafik kejayaan tahun 80an
atau semacam awal 2000an 
sebagai sesuatu yang serupa 

yang sekadar ditaruh:
geworfenheit* di sebuah meja kafe
berwarna pastel
dengan segelas minuman kalut
berpancarkan
wangi yang terputus 
dari interior asal mula

berputar-putar 
dalam omong kosong rencana bisnis 
proposal rumit pembangunan 
sketsa-sketsa bagan tanpa judul
huruf-huruf menyublim ad
infinitum ad infinitum

Diri tersebut boleh dianggap
memiliki semacam kewarganegaraan
tapi tak usah juga
Dan kafe atau entah apa pun 
kehampaan ini
yang tidak lagi diasuh sains
bisa dipikirkan ada 
di sebuah negara
yang sudah menyelesaikan 
semua babak revolusinya
termangu di ujung resultan
tidak lagi berperang atau kolaps 
oleh deflasi dan rudal-rudal

Yang kota besarnya membosankan
tiba-tiba hening, kadang
dengan cara yang aneh
kejat dan dingin

Dan orang-orangnya kadang terhapus
dari segala koordinat
oleh kuasa entah
sehingga diri kadang merembes

ke dalam kini 
yang bukan kini

Kepada sekarang
yang bukan sekarang

*geworfenheit, dari filsafat Martin Heidegger dalam bukunya Being & Time, mendeskripsikan eksistensi manusia sebagai "thrownness". Jika diterjemahkan secara harfiah, bisa dikatakan "keterlemparan, keadaan terlempar" , yaitu ketika seseorang lahir ke dalam keberadaan yang telah dikelilingi situasi dan fakta-fakta sirkumstansial tertentu tanpa dapat dipilih. 

 

 

Layar Jeda

kemudian hal-hal dalam benda-
benda 
semakin tertutup suara hujan
Misalnya jam-jam yang menghampiri
tanaman hias kolam renang
jam-jam 
lalu malam-malam semu
yang tahu mengapa timbul kabut 
dari sela-sela mainan
malam yang sebenarnya 
sukar ditemukan karena mungkin
tak pernah ada

seperti stoples kacang almond
dari masa kecil seseorang
ketika hujan sedang tidak bersuara
Menyelimuti iklan-iklan televisi
di ruang tamu yang terdampar

Cuplikan gedung di suatu panjang petang
Ditinggalkan
oleh waktu-waktu jam
Parkiran kontrakan kosong
yang entah ke mana 
entah seperti apa
orang-orang rahasia
yang pernah menyewanya

Sebab-akibat belum ditemukan waktu itu
Waktu itu memang sering disebut zaman yang gaib
Guguran suatu rumor tua  
Disinggahi lubang hitam 
atau sumur terlarang 

yang entah apa bentuknya
yang pada beberapa hari
batal ada

Bunga matahari
dalam diorama.

Semakin sulit 
menguak kehampaan
menelusuri pejal aljabarnya 

atau apakah satu dua orang saksi mata
memang benar-benar 

pernah ada di sana

 


Halte Berikutnya: 

Tibalah suatu saat
tanganku  
tak bisa merasakan
bagaimana sesuatu patah
atau suatu hal lain tumbuh
Membawaku pulang namun
terlalu tiba-tiba sebuah kota 
meletup di depan wajahku

Langit gelapnya asing
orang-orang asingnya 
berjalan mengikuti angin, bertiup
ke arah yang salah 
karena anginnya dapat kulihat
(namun orang-orang asing itu
seperti melihat menembus laju riwayatku)

Dan kutanya seorang perempuan muda
memakai setelan yang bersih sekali 
di pinggir cabang sebuah jalan
"Apakah ini jam 2 pagi dan
mengapa hidup terasa samar di sini?"

Ia menengadah sebentar untuk bergumam
"sesuatu yang besar 

sedang terjadi"

kudengar dan dengan sedikit lebih keras
kucoba temukan siulan kota ini
atau garis-garis khayalan apakah 
memang ada
di atas menara-menaranya
sesuatu yang belum sampai tapi perempuan 

itu tiba-tiba bangkit dengan bisu
Juga anak-anak dan orang tua dalam rumah-rumah bertingkat
dan orang-orang asing dan bayangan-bayangan mereka
yang perangainya serupa 
serbuk asbak dan bunga

Kebekuan dalam foto koran 
Kebekuan yang terasa menggaris 
bagian-bagian diriku yang seperti hilang
tapi kupegang wajahku dan aku terperanjat

karena apa yang terasa itu 
seperti nyata tapi 
jangan-jangan tak ada 

 


Spooky Action at A Distance

Mungkin. dunia kelabu
kantuk restoran. aroma jeruk

lantai berapa
hujan tak pasti
Digenapkan bolongan 
yang bicara padaku 

soal reka ulang

padahal baru saja kulalui
Zaman ini yang adalah 

Rekaman sebuah hari

desain kursi sederhana 

Yang tak ke mana-mana
mengingatkanku pada bayangan pohon
bulir-bulir desir 
ketika lengah

entitas ilahi yang gagu 
berkimbang bukan sesuatu

:Gejala saja

Orang-orang di meja makan 
mengalami guncangan tanpa muka
memadat di suatu selat doyong
antara diri mereka dan diri mereka
Bagaimana

Menjelaskan itu pada seorang teman
di ujung gelombang lain telepon 
Baru pulang, entah meletakkan kunci
apa 
ternyata
aku tak pernah mengenalnya

"Ke manakah hari ini?
Bagaimana kelanjutan obrolan 
waktu itu?"
Kupikir pernah terjadi pertanyaan macam itu
Di terminal. bandara dingin dengan kios-kios.  
siapa berjalan terus?
siapa berjalan terus 
meski bukan aku
jam 12 berawan
bukan. aku di luas 
kurvatur
marmer infinit
bukan aku di elevator
musiknya yang 
entah kapan mulai

diam sekali
acara malam di televisi
kapan selesai

"halo? halo? mungkin. aku takut

aku seperti aku tapi
aku takut. aku terlalu 
seperti aku”

 

Jonah M lahir di Jakarta, 1995. Suka menulis puisi dan menyukai lukisan surealis. Akun Instagram: lumis.eterne