Ke Hutan Menemu Tuhan
Hutan, hujan, human, Tuhan
Aku hanya perlu memilih leher mau diikatkan di untaian akar yang mana,
tapi Tuhan tak suka cara yang serupa
Kematian adalah cara lain Tuhan memeluk hambanya. Menghangatkan gigil luka di balik jas hujan robek. Merawat zikir yang patah-patah di antara nyeri dan rindu
Sebagai pendoa, ketakutanku masih sama seperti membaca komik-komik neraka
Sebagai pendosa, aku lancang menginginkan surga
Losari, Januari 2025
Apa Lagi yang Bisa Kuatasi dari Tubuhku
Apa lagi yang bisa kuatasi dari tubuhku?
Kipas angin sudah kumatikan. Namun, paru-paru terlanjur basah, dan sebungkus kretek tak cukup meladeni kecemasan
Lampu sudah padam. Namun, gelapnya justru menerangi warna kecut di lambungku, dan memejamkan mata malah meletupkan silau cahaya konstan dalam ruang prasangka
Jam memiliki jantungnya sendiri, ternyata, meski sudah kupatahkan lehernya. Waktu tetap berdetak dalam zona-zona berbeda, di batas-batas kesepian
Adakah perasaan adalah tubuh lain di dalam tubuhku?
Membuatku babak belur setiap berpapasan dengannya
Apa lagi yang bisa kuatasi dari tubuhku?
Bersandar pada khotbah-khotbah di meja-meja kafe, di hadapan gelas-gelas kosong (yang tetap kosong)
Mendamparkan diri pada malam dan jalan. Menadah tetesan air dari gua-gua di mataku
Menari di antara lelehan matahari, dan memeluk diri dalam dingin kesunyian bulan
Menggumuli bahasa dan mendengarnya berkata-kata seenaknya meski sedang bercinta. Celaka
Aku terlalu pendiam untuk dunia yang terus terang
Apa lagi yang bisa kuatasi dari tubuhku?
Selain kesadaran, tubuhku adalah karma bagi orang lain. Selesai peran, tubuhku hanya boneka kusam yang dibuang ke tempat sampah
Losari, Maret 2025
Sepertiga Malam
Malam tinggal potongan terakhir
di meja. Tangan menopang kepala
Kabut membalut api dalam rengsa melawan insomnia
Bukan sekali ini aku harus melihat lagi lanskap kematian yang memantul dari kekosongan
Aku tumbuh oleh mimpi-mimpi yang sekarat. Oleh nyenyat yang menyayat
Tuhan, inikah isyarat
kalau aku harus bersiap-siap?
Losari, 28 Februari 2025
Manisku, Dengarlah
Lelaki Kaku dan Bisu Ini Bercerita
Manisku, dengarlah
lelaki kaku dan bisu ini bercerita
Aku ingin membakar kota-kota di kepalaku. Kota-kota yang terlampau bising bagi mulutku yang hening. Kota-kota yang lorong-lorongnya dipenuhi muntahan air mata orang-orang kalah
1Kota-kota yang gelap dan pengap bagi dadaku yang senyap. Kota-kota yang melahirkan kunang-kunang dari kuku-kuku kematianku: beterbangan di tempat-tempat yang pernah kita cumbu.
Kota-kota yang sibuk bagi kakiku yang remuk. Kota-kota yang jalannya dibangun dari lelehan darah dan kuburan-kuburan tanpa nama (nyawa-nyawa berkendara di atas batu nisannya)
Kota-kota yang aspalnya pernah menggoreskan luka di lututmu: menyelamatkan kepedulian yang tinggal sejengkal
Manisku, dengarlah
lelaki kaku dan bisu ini bercerita
Aku pernah hendak menabrakkan diri ke teronton yang melaju, tapi seorang lelaki paruh baya yang mengais sisa-sisa jatah hidupnya di tempat sampah, menggagalkanku
Pernah juga digagalkan pada usaha yang sama, karena motorku menghalangi kerja usia kuli jalanan berbau peluh, dapur, dan popok bayi
2Aku pernah duduk di rel yang hangat menunggu kereta menggilas penyesalanku. Namun, nanar mata bocah yang sedang mandi di kali mengingatkan masa kecilku saat mendengar kabar kematian Bapak, membuatku mentas lalu lari tanpa busana
Pernah juga belajar membuat simpul. Lalu, mencari pohon ke tempat yang entah. Di sana, aku teringat orang tuaku, haru seperti apa yang mereka rasa saat tali pusarku terputus
Manisku, dengarlah
lelaki kaku dan bisu ini akhirnya bisa bercerita
Adalah luka yang masih juga basah
Adalah lupa, kata yang tidak bisa lenyap dari bahasa
Adalah mati, kata yang tidak cukup hanya dengan kerja:
Adalah Tuhan
Losari, Februari 2025
Pulang
Lelaki itu pulang dari kelananya.
Berjalan terseok-seok,
berpegangan pada udara subuh.
Di tiap kelokan lebam tubuhnya,
ia muntahkan kata-kata
yang tak patut disebut doa.
Di pelataran rumah, ia terhuyung, tersandung sisa bayangan perempuan bermata prairi. Tempat dulu ia biasa menjumput puisi.
Lelaki itu ingin teriak, ingin berontak. Namun, nyeri melesapkan suaranya, meluapkan air matanya.
Ia kalah lagi. Untuk ke sekian kali.
Kepada Tuhan ia berdoa lewat kata-kata yang muntah begitu saja:
“Tuhan, terimalah kematianku setelah kubuka pintu itu.“
Losari, 18 Februari 2025
Berkendara di Jalanan Cirebon-Brebes
Jalanan memerah di mataku. Debu batu bara menyeret pantai utara. Tak ada kaca dalam helmku. Terasi menikung tajam di hidungku. Garam meringkai di kulitku. Lampu jalan patah-patah membuat mata hatiku terguncang dalam lubang-lubang penuh air mata. Ungkapan-ungkapan yang tertahan mencipta batu di kantung kemihku. Lagu-lagu yang berputar dalam mulutku macet di lirik namamu. Angin menghempaskan pelukan, elusan tangan dan bisikan-bisikan apa di telinga. Pikiranku melambat pada kecepatan 33 km/jam di batas kota dan kita. Ada pecahan demonstrasi di dadaku. Jalanan mengubah posisi bulan dari kerinduan ke kehampaan. Jalan tol memangkas uang belanja keluarga telur asin. Pijat refleksi menjadi malap yang menolak padam. Awas, truk-truk gemar menembakkan kata-kata lewat pantatnya! Lampu merah melipir ke tubuh gadis kecil yang bermukim di alun-alun kota yang juga kecil. Gadis itu menyisir kembang kertas di kepalanya. Bawang mengiris matanya yang bertabur bintang. Malam membisukan dengkur pohonan, memekakkan namamu ke telingaku, lagi. Lantas, seberapa tipis garis batas antara kebebasan dan kesepian setelah kehilangan?
Losari, September 2024
Wisata Rumah Sakit
Di koridor-koridor rumah sakit
bangku-bangku menampung tidur
Kantuk menumpang tidur
Dua apoteker menidurkan ruangannya
Mengirim obat ke ranjang-ranjang
yang sedang tidur di kemiringan 7 derajat
Obat tidur tertidur di kursi roda
Subuh tertidur di kantin setelah sarapan
lengko dan gorengan
Rumah ibadah di rumah sakit tidak sakit
Ibadah untuk orang-orang sakit lain
Sakit beribadah di arsitektur rumah sakit
Tuhan ada di putaran kebingungan
orang-orang mencari pintu keluar
Ada kematian di belokan kelima setelah
parkir kendaraan
Helm-helm menyimpan teriakan
Kantong keresek menyimpan tangisan
Botol air mineral menyimpan doa-doa
Tabung oksigen menyimpan kehidupan
Tabung apar menyimpan kepanikan
Masker menyimpan ciuman
Kamar mandi menyimpan bau tubuh
dua hari yang lalu
Ada bangkai rindu di tong sampah
Tak ada dapur di pos satpam
Minimarket 24 jam dijaga tiga orang tidur
Dan aku belum tidur
Dan kau baru bangun tidur
Aku ingin masuk ke ruang operasi
Membedah kesepian di lambungku,
agar tak ada lagi letupan-letupan
di tiap jengkal ingatan
Brebes, September 2024
Faisal Rifqi, lahir di Losari, Cirebon. Tumbuh dengan asupan ikan, remis dan etelewek kali Cisanggarung. Pembaca komposisi makanan dan minuman. Penikmat teh tubruk dengan 33 adukan searah jarum jam. Facebook/instagram: @khatamanbuku