Melankoli Menjelang Pagi
Pukul satu lebih sembilan belas dan pesan yang tak kunjung terbalas
Jarum jam terdengar keras
Hening mengantar berpaket cemas
Kupasrahkan pada malam, segala yang membuat muram. Andai kau tahu, kekasih kenangan membikin hati remuk redam
Pukul setengah dua, suara kereta menggigit telinga
Suara-suara kecil bertanya-tanya: aku mesti bagaimana? Apakah mencintaimu adalah kesalahan buatku?
Lirih, hati mendawamkan namamu
Hening dan pedih, rindu menuntut temu
Malam dan pohon pisang di pekarangan berbincang, menerka-nerka: mana yang lebih deras, hujan atau kenangan yang tiap malam mengguyur keheningan
kesepianku atau kepergianmu yang lebih menggigil di ingatan
Aku diam, mengeja gejala: semua tentangmu di benak tak jua reda
Mengenangmu kadang membuat lega, kadang menyesakkan dada.
Menjelang pagi, puisi berjatuhan dari langit
Sebelum mentari terbit, kukantongi satu persatu bait demi bait
Kusimpan di hati paling sempit, untuk luka yang paling sakit.
Tegal, 2022
Ngantuk
Sebelum tidur, ada yang kondur dan membaur
bersama bantal, selimut, dan kasur
Kenangan membentangkan tubuhnya tiap malam
Menyajikan kau dan serenteng kerinduan
"Jangan tidur dulu, santaplah aku", kata rindu
Betapa-pun, kekasih, mengingatmu adalah patah hati yang terus menerus aku nikmati
Sebelum lelap, ada yang hinggap:
pada senyap, pada malam-malam yang pengap.
Hujan membasahi ingatan, kamar menampung lamunan, puisi menghayati ketiadaan, dan kau menanak lara di lumbung perasaan
Beritahu aku cara berdamai dengan sepi saat kau tak terjangkau oleh jemari
Lalu akan kubagi tahu kau betapa rindu adalah pahit yang mau tak mau aku telan sendiri
Pas lagi ngantuk, semua tentangmu merasuk ke hati paling lubuk.
Kekasih, di dada yang penuh hiruk pikuk, mengingatmu membuat hati sejuk.
Tegal, 2022
Nyanyian Pereda Hujan
Hujan o hujan, segaralah reda
Bawa pulang petir, angin, dan dingin
Terang teranglah, kekasihku hendak datang
Mendaur rindu yang telah usang
Hujan o hujan, tak lama lagi ia datang
Memikul segumpal kasih sayang
Kesabaran adalah payung
Cinta lebih deras dari hujan di akhir tahun
Datanglah, sayang
Singgahlah dengan sungguh
Rindu tak cukup tangguh melawan ketiadaanmu
Angin dan dingin tak kan jadi penghalang
cinta lebih hangat dari jas hujan
Hujan o hujan, segaralah reda
Biarkan kuterka:
kau atau pelangi yang lebih menyegarkan dada
Tegal, 2022
Rawamangun Tinggal Kenangan
Rawamangun dan semua yang pernah tersusun
Masih seliweran dalam lamun
Cita, cinta, dan harapan kurakit perlahan --Lebih pelan dari siput berjalan
Bertahun telah berlalu. Antara aku, kau dan per-aduan nasib. Kau memilih pulang, entah menyerah atau ada yang lebih cerah dari remangnya Jakarta.
Tapi aku dan pagi masih saling asyik menikmati. Nasi uduk mengaduk rindu yang hiruk-pikuk, manis senyummu dan pedas tekadku bercampur dalam sepiring tempe oreg. Katamu, koyo dene Nasi uduk, Jakarta terlalu gurih untuk langsung ditelan. Kunyahlah pelan-pelan: nikmati manis asamnya nasib dan pahit gurihnya perjuangan.
Bagaimanapun jua, Jakarta cukup mengenyangkan bagi lambung karyawan, juga teramat manis untuk dilupakan.
Kini, kau telah pergi. Menanggalkan sebait puisi yang rutin kunikmati.
Rawamangun dan kau meninggalkan kenangan yang rimbun; yang terkenang hingga ke ubun-ubun.
*Diselesaikan di Tegal, 2022*
Menerjemahkan Rasa
Pada puisi, aku healing
Merawat pening, mengobati luka yang tak kunjung kering
Pada kata-kata, aku terapi
Recovery dari ulkus di hati
Pada malam, aku ngopi
Meneguk sepi dan hangat air mataku sendiri
Pada kenangan, aku mencari
Serpihan tawa dan rerontokan mimpi di belantara sunyi
Pada siapa lagi, aku mesti
Menerjemahkan rasa ini?
Tegal, 2022
Sama-Sama
: Tiap malam
Kau dan rembulan
Sama-sama menerangi.
Hujan dan kenangan
sama-sama merenangi.
Kopi dan sepi
sama-sama merenungi.
Kau dan aku
sama-sama merindui.
Kita, sama-sama.
Sama-sama mencintai dengan cara sendiri-sendiri.
Tegal, 2022
Akulah Rumahmu
Tenang, sayang
Aku atap yang kan memayungimu
Cemas dan sedih tak lagi mampu menghujanimu
aku tembok yang siap melindungimu
Sembunyilah dari gempuran overthinking-mu
Aku alas yang tabah menjaga langkahmu
Sabar menopang kelabilanmu
Merebahlah, kekasih. Nikmatilah sejuknya rindu
Akulah rumahmu, tempatmu pulang dari petualanganmu yang panjang. Kembalilah, pulangkan sebagianmu yang hilang.
Tegal, 2022
Lelaki dan Malam
Setelah riuh malam minggu usai, lelaki termangu sendirian di sudut kota.
Kepada malam, ia titipkan segumpal kerumitan. Barangkali bulan bisa mengurai benang kusut di pikiran atau minimal bintang-bintang bisa menerangi hamparan kelam di kedua matanya yang lebam, pikirnya. Langit malam memayungi kesedihan, bunga Kamboja di kuburan pinggir jalan menghimpun kecemasan-kecemasan yang berserakan di halaman perasaan. Lelaki dan malam bersama, seolah pagi tak pernah ada untuk menyapa.
Ia susuri garis malam sambil membayangkan wajah kekasih memantul pada tiang lampu-lampu kota
Kepada rembulan, ia curahkan semua kerinduan, juga perihal perasaan terhadap kekasih pujaan yang tak terjangkau oleh lengan, yang menelurkan kegalauan, yang siang malam ia puisikan. Lelaki dan rembulan berpelukan, kesedihan hangus terbakar terang, kepahitan sirna ditelan malam.
ia mampir ke angkringan yang hampir tutup sebab pukul satu lewat dan gerimis perlahan mengantup, ia pesan kehangatan pada secangkir kenangan. Sendirian. Kepada sunyi, ia pasrahkan diri: pada kata yang paling puisi, pada nada yang paling simfoni. Pada hening ia healing dari keramaian yang bising.
Lelaki dan malam ngopi, menyeduh suram dan menyesap sepi. Kepada lelaki, malam berjanji: akan menaungi siapa saja yang patah hati, akan tabah menampung berbagai kesah, dan akan sabar menelan bermacam kepahitan yang hinggap di tiap sanubari.
Kepada lelaki, malam berjanji
Lelaki dan malam saling mengasihi.
Tegal, 2022
Merayakan kehilangan
Apa lagi yang hendak kutulis. Mengingatmu lebih puitis dari kata-kata bermajas, membayangmu menanak bimbang di dapur pikiran
mengharapmu, memeluk gunung kemustahilan. Di sana, entah di mana kau berada, mungkin kau menjelma batu yang bisu memendam rindu atau hatimu lebih keras dari batu tak lagi paham apa itu rindu.
Di luar kemungkinan-kemungkinan kita bersatu, aku mengutukmu.
"Untuk apa berjumpa, kalau rasa tak lagi ada. Untuk apa bertemu, jika bara rindu tak jua menemukan tungku, katamu."
Pada setangkai bougenville kualamatkan rinduku. Di dedaunan yang layu sebelum jatuh dihempas angin. Pada senyap sebelum perih, kudendangkan senandung lirih:
O, angin, sampaikan rinduku sebelum matahari membakar seisi hati.
Apa lagi yang mesti kubaca. Jelas sudah, perpisahan mengabjadkan tubuhnya pada tembok penantian yang kusam, pada dinding-dinding pengharapan yang suram.
Tak ada air mata, aku pria. Merayakan kehilangan berarti menikmati kepahitan. Secangkir robusta tanpa gula kadang tak aman di lambung dan pencernaan tapi nyaman di lumbung penyesalan. Di ruang relung hati meraung: kesakitan, kehilangan.
Tegal, 2022
Zidny Hidayat, pria kelahiran Tegal yang saat ini tercatat sebagai karyawan di salah satu perusahaan jasa di Jakarta. Beberapa karyanya pernah hinggap di sejumlah media dan antologi puisi bersama. Sapa ia di Instagram: @zidny_nhyz dan Facebook: Zidny Hidayat.