MELIHATMU
Melihat pipimu
Aku ingat pada bantal yang menerima tangisku
Melihat kerut di dekat matamu
Aku ingat pada selimut yang sabar memeluk kesedihanku
Melihat matamu
Aku ingat bahwa aku memiliki rumah untuk pulang
Melihat bibirmu
Aku ingat pada tirai jendela kaca yang setiap pagi ingin aku buka, terang dan panas yang mendatangiku membuat seolah aku baru terlahir kembali
MENUTUP TERANG
Aku balik lagi ke tempat di mana tubuhku menjadi tunas dari kata yang tidak pernah ibu baca, atau memang aku pintar bermain petak umpet.
Kali ini aku tahu dari mana gelap menutup terang di antara dinding yang aku buat sebagai batas ruang.
Bohong jika aku pernah ingin berhenti mencintai seorang perempuan yang membuat teman-temanku tertawa serta sempat ibu tanyakan kenapa aku sering memutar lagu; semakin ku kejar semakin kau jauh.
TUBUH DAN HUJAN
Sesekali
Aku pun ingin menjadi hujan yang menepikanmu dari buru-buru, yang menemani air matamu bermain perosotan di pipimu.
Sampai tubuhmu memilih hari liburnya dari padatnya tugas-tugas, dari kemacetan dan kebanjiran yang mulai menjadi penduduk tetap kota ini.
Mari ambil cuti demi tubuh yang sudah banyak lebam serta demam yang sesekali di iringi dendam.
MENCINTAIMU DENGAN TEGA
Dan aku mencintaimu dengan tega;
Aku tega membunuh rindu berulang-ulang kali, lalu menguburnya di halaman rumahmu, agar kelak jika aku memang bukan tamu, akan aku gali sedalam-dalamnya.
Tapi jika rumahmu ternyata telah penuh dengan ranjang, lemari, meja, kursi dan mainan anak yang serba baru, kau bisa tembok halaman rumahmu, atau kau tanam saja cabai, tomat, bawang dan semua yang bisa kau masak di dapur.
Hari ini listrik di kota sedang padam karena perbaikan gardu induk, kau boleh benci karena tidak ada pengumuman sebelumnya, mungkin memang sebentar gelap telah melenyapkan ingatan terang yang pernah mengantarmu pulang.
YANG MASIH TERJEBAK
Untuk seseorang yang masih terjebak di tubuh orang lain
Apakah ia masih menjadi telinga yang rela mendengar misuhmu?
Apakah ia masih menjadi pundak yang rela di basahi air matamu?
Apakah ia masih menjadi lengan yang memelukmu tanpa memeluk yang lain?
Untuk kakimu sendiri; berangkatlah
Semoga hatimu lekas sembuh bersama waktu
Jika tubuhmu telah menjadi pohon di musim gugur
Akan datang musim penghujan
Bersemilah
Yusuf M Kustiana lahir di Ciamis pada Juli 1995, anak pertama dari tiga bersaudara yang lama tumbuh di Ciawi, Tasikmalaya ini menyelesaikan pendidikan terakhir formal strata satu pada tahun 2018. Pada kesempatan ini Yusuf mencoba menulis kembali, setelah 4 buku lahir dari rahim sendiri yang berjudul “Intisari; Asyiknya Jatuh Hati Dan Patah Hati” (puisi), “Kemungkinan-Kemungkinan Di Kerinduan” (essai), “Salam, Senandung Awal Dan Akhir” (puisi), “Latifah Dan Kiyas” (Novel), serta 2 buku antalogi puisi “Air Dan Api” serta “Mengejar Deadline” terlebih dulu di terbitkan.