NASIB KOTA PENCEMBURU
di dalam geluduk itu, ketukan pintu menjelma rahasia orgasme para perompak di rabun matamu, kuberikan terumbu dan bebunyian menanti dari ambang neraka, lelangit senyap, memeluk erat kutukan yang gelantung di geladak hatiku, sehelai dan sehelai lagi, kabut mengabur ke lobang pori-poriku, menyembunyikan abu
dan lewat syair, tubuh kita terpejam dengan suara-suara; bangku, dada, pintu, cermin, memecahkan telur dan menetaslah sorga disamping gelak yang mencekik sebagian lesung dari pipiku, perayu, sang pecinta menyusuri gelap yang ditampilkan gelak mungil berudu, datanglah pagi,datanglah, sebab hari ini seteguk luka menjadikan kutuk adalah ranjang penuh peluk dan peluh
berjatuhanlah kata-kata dalam lenganku yang panjang, kelahiran baru abadi dan begitu kekal, mengembaralah cinta yang diperlihatkan hujan-hujan berguguran dalam kabut pelayaranmu, mengikrarkan rindu dan nasib kota pencemburu, nama-nama baru dan peta dunia baru
Surabaya, 2021
TUBUHKU MENDAMBA LAUT
:cycy
tubuhku mendamba laut dengan bahasa sendiri yang terdiam di kelokan rambutmu, lampu-lampu terhisap wangi tubuh, mengubahku menjadi seekor burung camar yang terbang menuju matahari
di sinilah kuingat kota-kota lenyap terpisah dari ledakan besar di dasar telingaku, suaramu telah mendatangkan pecahan meteor untuk membunuh seekor paus, tumbuhlah kematian-kematian atas nama sorga, beribu tafsir yang berombak muncul akibat udara yang berdentum, memancar-hancurkan segala penjuru
berulang kali tuhan mendapatkan rasa sakit dari tubuhmu, lalu pusaran air mengganas, tiap kujangkau langit, warna kegilaanmu berubah-ubah seperti keringat di lautan mengkristal
kukelilingi pelangi dari ujung ke ujung, menciptakan langit dan amis tubuh, ketika pinggulmu melebar menurunkan seribu mahkota pemabuk, sunyi dalam telingaku mengamuk, memberikan warna merah tangis mataku yang hitam
Surabaya, 2021
MENENGGELAMKAN KEGAIBAN DENGAN LAGU-LAGU
terkucil dari dunia nyata, aku terbang sebagai asap rokok dengan hasrat singkat, terjepit cincin, masuk ke lobang jendela, hilang setelah lampu yang mengenalmu mati mulai tersusun
kau kaburkan senyum yang mengecap ingatan kita pada selembar kitab usang, sebentuk puisi saling menatap, di sulur jibril jantungku tercipta sejak bulan hitam dan segumpal gema debu terpenuhi semak-semak belukar
sekelebat dukaku memerah, melintasi sudut-sudut tergelap bibirmu, kau memutar-balikkan lidah dengan kata-kata yang tidak bermakna, sekecup langkahku terjatuh di masa silam, terombang-ambing di jalur putih lesung pipiku, aku menenggelamkan kegaiban itu dengan lagu-lagu, menaklukkan jiwa dari hantu-hantu
aku merangkai ujud bunyi dengan tubuh bayanganku, membentuk ketakutan cahaya, di dinding putih amis gemuruh jagat raya, mengenang tangis bunga-bunga
sekebun hatiku berbunga kematian, di tengah misa requiem, sepasang mata mengungkap misteri 1000 tahun, bukan 100 tahun, di sebaris neraka, di selembar peta, aku pernah berjalan-jalan di tengah neraka yang mengunci sebuah pintu evakuasi gempa pikiranmu
Surabaya, 2021
BAHASA KITA ADALAH IMPIAN
bahasa kita adalah impian yang dipenuhi bayang-bayang dan tersangkut di pagar jembatan, kau susuri sesak dada dari nama-nama yang tertempel baja, pinggir kota yang membangkitkan gairah binatang dalam diriku
sebuah kamar seputih dirimu mengukur jalan simpang, di mana malam mendengar kutukan telah membakar gagak lalu melemparkan jasadnya di sepanjang jalan, bebulan tegak di mana truk-truk menaiki jalan ke sorga lewat paru-parumu
potret odeku sembunyi di dalam senyum mekar tuhan, ayah dan bunda, membanjiri bopeng bulan dan meluap ke bui kita para penonton kesedihan seakan-akan meluberkan nyanyian api sumber kebahagiaan
seribu malaikat menyembur lewat pohon-pohon yang tersembunyi kabut, punggung karat di perbatasan rimbaku, memutihkan bunyi dari sayapnya yang lebar dan sedikit hangus, kau terbakar gairah
ingatan-ingatan tersusun dari mantra, sebuah kertas sebanyak pelikan membongkah karang ditaburi asin laut mulutku, meski seorang dengan akhiran i terus melemparkan kata-kata, di luar rumah, kavaleri meregangkan kakinya secara minimal dan semaksimal cerita-cerita kini
adakah kau lihat tanggal dalam kedua bola mataku, sepasang bahasa kehilangan diri, hanyut ke dalam zaman, lari ke dalam zona merah, dalam mimpi dan bahasa subuh
Surabaya, 2021
Adnan Guntur, lahir di Pandeglang pada tahun 1999. Saat ini sedang melanjutkan studi di Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga. Aktif berkegiatan di Teater Gapus, No-Exit Theatre dan Bengkel Muda Surabaya. Bisa dihubungi melalui, email: adnan9guntur@gmail.com WhatsApp: 082134360773, Instagram: @pem.belajar_ dan @adnan_guntur.