Obituary Desember dan Puisi-Puisi Lainnya

07/02/2025

 

Salimist dan Eksodus Lelaki Rimba

Sebelum gerimis, tubuhku terpaku di perut bumi, membiarkannya mengakar dan dihujani tetes liurmu. 

Berburu, menikam kubangan di dadamu, membajaknya seperti petani dijejal musim, dan kita sama-sama mengerang meneriaki Salimist.

       “hentikan atau teruskan sampai titik paling nadir”

Di halaman, jangkrik dengan gerigi di kakinya menyerukan simbol suara, mengisyaratkan musim akan berakhir dan lahan tandus itu harus segera selesai dipacul. 

Diterangi wajahmu aku mulai meraba, membaca isyarat sebelum pembajakan –

       kutanami  pohon setan. 

Aku melihat ritus Aranya Sankskrit dari rimbun rambutmu yang tergerai, dengan yang melekat pada lengket peluhmu. 

Aku mengintip, melihat gagak hitam sang penguasa eucalyptus mematuk-matuk biji selangkangan patriarki, dengan mulut lancipnya. 

Dan angin barat mengantongi awan kelabu di sakunya.   

Eksodus lelaki rimba bukanlah petaka.

 

Hipokrit Betina Liar

Tubuhmu sungai mengalir, ia meliuk dari muara dan rembes di kubangan. 

Ia meliuk seperti lekuk ular, dengan taring di dadanya dan bisa di sekujur tubuhnya, ia gemulai, ranum, dan lentik. ah sayang.

Setiap tubuh adalah sungai; lumut hijau, licin dan lengket. Meraba kaki-kaki bermata satu. merindinglah selangkanganku, Klimaks. Ia Oxyuranus mengikis getah bening sekujur tubuhku. 

Mematuk wajahku dengan segumpal puisi, racun paling manis dari yang termanis. Diiringi detak tabu engkau merangkak dan membusungkan dada, sekali lagi engkau menyisakan garis merah darah yang membentang ke ibu kota.

Pejantan atau betina tidak lebih bersisik, tidak pula lebih berisik dari desah paling pasrah, bertukar muslihat dan memaki-maki langit dengan sengit_

       “ Demi Khadijah tegak luruslah, setegak sungai Nil dengan rembulan perak sabit di keningnya ”  

Pejantan atau betina hanyalah daun kering yang berjatuhan. sebuah kecelakaan paling agung.

       Sebagai betina bersiaplah untuk detak yang lebih lama.  

 

Eucalyptus di perut Ibu

Telah aku pesan baliho besar dan kutancapkan di dahi ayah_ 

       Tanda Peringatan.

Seperti iklan sampo dan deodoran. Aku berteriak pada dunia perihal titik paling nadir dari sebuah kesadaran, ia memancing lohan di kepalamu.

Pandir, ibu berseru pada serapah matahari yang membakar ari-ari.

Satu dua tiga akar mulai tercerabut dari rahim ibu, menitikkan merah darah dan terhempas di wajah ayah

Eeucalyptus mengernyitkan dahi dan menekuk akarnya, mengeringkan tubuhnya, ia lelap dalam rumah kaca. 

Dari bilik rumah, di antara ruang yang paling sempit aku memasang telinga, dan rintihan kecil semakin mengental di bawah selangkang ibu, ia menjerit ketakutan. Tidak ada kumandang azan, tidak pula kecipak air ataupun kebahagiaan.

Aku hanya mendengar…

       “ibu memilih pergi memeluk bumi, membiarkan Ecalyptus mengakar di perutnya”   

 

Obituary Desember I

Setelah semua benar-benar usai 

Kita akan beranjak dari kesepakatan kecil yang dibangun oleh rasa penasaran,

Memilih tanggal.

Seperti sedang memilih musim 

Engkau menuju Desember berikutnya dan aku terpaku di Januari, 

Berjarak.

Kita akan saling menitip kangen 

Pada bulan-bulan berikutnya 

Sebagai lelaki 

Sebagai perempuan 

Sebagaimana Desember dan Januari,

Dipisah kalender dan bulan-bulan yang lain.

Kita akan berbahagia di tahun yang sama 

dan tanggal pada bulan yang berbeda,

Semoga.

 

Obituary Desember II

Memilih tanggal: 

Pada malam yang melumat wajahmu 

Meski, pada akhirnya wajahmu memilih tubuhku

Sebagai inang. 

Ada banyak yang memilihmu 

Tetapi aku pun, memilihmu.

Desember hanya satu 

Aku tidak ingin memilih dan dipilih bulan lain

Aku memilih 

Tanggal 

Desember

 

Obituary Desember III

Selamat, katamu. 

Kita akan beranjak pada tahun berikutnya 

Meninggalkan Desember 

Dari desa menuju ibu kota 

Ada banyak perayaan perihal ucapmu 

Mereka bergelayut di papan reklame 

Seperti iklan film tahun baru

Bahkan, di pintu, jendela, dan segala tempat adalah selamat 

Untukmu, yang melangkah jauh dan menanggalkan kalender kamarku.

 

Syauqi Robbil Afief, kelahiran Madura Sumenep, mengajar di STKIP PGRI Sumenep Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, beberapa karyanya dimuat dalam media online Ngewiyak, dan antologi puisi bersama, Lubang Kata (2017) Dalam Rahim Kata-kata (2019) Luka Waktu (2020). IG : aink_syauqi