Tanpa Angka
Jika pergi nanti
Jangan coba telusuri mimpi
Sebab perkara telah usai dengan mati
Hanya alam baka pembatas jalan kembali
Untuk mengenang seruan
Perjumpaan yang tak berarti
Tanpa menawarkan kasih
Masing-masing mengubur diri
Mengekalkan sendi-sendi nadi
Berlarut sedari rahim
Tetiba memanggil
Pasrah menjadi akhir
Itu Hanya Angan
Seandainya
Kotak-kotak itu bersuara
Merdeka ditebas porak-porandakan massa
Akan berkuasa
Tertidur oleh bius-bius kegalauan
Diruntuh dan diterjang pembuangan
Takkan mengangkat tangan menyerah
Tanda yang ditemukan akan menjadi bukti
Seperti kata pembenaran
Meski nanti dilantakkan kecurangan
Mencari keadilan
Untuk sebuah harga diri
Mempertahankannya seperti nyawa
Akhirnya dianggap pembual dan dilupakan seperti gula diaduk kopi hitam
Menjejak Suara
Di dalam ruangan
Hanya aku dan bayang-bayangmu di atas langit rumah kita
Bersama ratapan yang coba ditepiskan dengan harapan dan janji
Untuk Rida atas pilihan jiwa
Lalu, bagaimana itu tidak nyata?
Dan apabila tidak terjadi, akankah kita lapar?
Bayang itu berbicara
Kita bukan hidup dalam surga
Melainkan dijembatani kehidupan fiksi dengan penderitaan
Pengutuk
Bagimu, segala janji adalah deretan nama yang dipenggal lewat kata
Memberikan alasan untuk menunggu
Masa yang dipikul
Tak seberapa berat
Hanya saja tergiur oleh banyak kidung mimpi
Yang berasal bukan nirwana bertabur bintang pemberi permohonan
Dengan sesaat terwujudlah permintaan
Melainkan tiupan angin tanpa asal muasal
Dikirimkan tanpa nama dan tiada tanda
Tanah Nafkah
Sejenak duduk di pinggir ladang
Halusnya suara desau padi
Menjejak hingga ke dalam badan
Membantu membersihkan kekeringan di lubuk jiwa terkoyak
Ilalang bergoyang dengan sejajar
Berpendar mengalihkan udara petang
Memesona meruntuhkan lara
Langit bersih yang tak berdinding
Menutupi baju-baju lembap
Seketika buaian seseorang membuyarkan lamunan
Sejenak Perjalanan
Butir-butir pasir di pantai
Dimainkan pengunjung dengan riang
Menadah awan untuk mendinginkan sejenak tubuh ringkih yang panas dari teriknya sumbu surya bumi
Kulit memar tersapu tanah merah
Meninggalkan jejak kelana pengembara
Diikuti gelembung-gelembung pinggir pantai menuju pondok kelapa
Di sana gemuruh ranting-ranting daun pot bunga mawar setengah merah
merekah walau dihalau kayu penyangga, dihuni oleh sentuhan bunga indah baru
Dipandang tanpa malu
Meski nyeri karena terlepas dari kesejukan kebun bunga
Ahli Surga
Seseorang telah layu
Hatinya merayu
Mencumbu tidur
Bermalam dengan aurora mimpi
Tak seorang pun dapat menembus malam panjang seorang perawan
Saat orang berpaling
Menganggap semua adalah beban pandangan hidup
Kokohnya raga akan membuat siapa pun menyesal telah salah menaruh cercaan padanya
Terdiam dibulirkan air busuk
Tersenyum ketika dilaknat
Melewati berbagai godaan demi iman
Menyusutkan kekuatan
Melemahkan kedalaman jiwa
Di situlah pemilik semesta memilihnya sebagai penghuni mulia
Sebuah Pesan
Jika nanti ibu pulang
Bawalah permintaanku
Doa ibu, tak mampu kutandingi dengan iringan doa walau sampai ke tanah suci
Karena sang Penguasa
Sudah berfirman tentang Rida
Bukan kehebatan dan kepintaranku
Yang hanya buih, di antara birunya laut membentang
Dan bila ibu tiba
Sampaikan aku rindu
Seperti tanah gersang ingin dijamah hujan
Dan bagai daun tandus
Yang butuh disiram
Di antara Malam
Sujud, adalah tempatku bermuara menuju samudra yang dalam
Meski terpendam di antara dua tangan dan hembusan nafas tengah malam
Jiwa ini teduh
Mengalirkan segala darahku
Untuk berpikir bahwa masih ada kuasa-Mu
Di Depan Rumah Lama
Melodi dari radio Bapak
Melenggokkan bunga-bunga kertas di halaman belakang
Tersapu oleh alunan nada ringan
Membuka lembaran kenangan
Untuk berpulang tanpa mengharap waktu terulang
Kopi Beraroma harum hingga mengentakkan gerakan setiap orang yang melintas
Akan bertamu sejenak menikmati keharmonisan pagi
Tepat di depan rumah bekas Jepang huni
Kereta api melintas membunyikan serunai
Dan anak-anak berlari saling berburu penumpang
Untuk menawarkan jajan dan air mineral
Mereka telah menunggu lama untuk merdeka dari bungkamnya kemiskinan
Dan ibu-ibu yang banting tulang
Mencari penghidupan
Pasir serta kerikil saling berguling menyaksikan langkah kemalangan
Petang di Pantai Berlangit Senja
Dalam mangkuk sup
Keheningan tiba-tiba pecah
Oleh desau dari bibir pantai
Di bawah naungan senja Januari
Menghirup rempah-rempah yang diracik dengan sepenuh jiwa
Melamunkan kenangan saat dahulu bergurau
Ditemani merpati di atas pohon kelapa
Senyap sejenak oleh ombak yang menghempas
Terbawa butiran pasir yang mengarus
Beriringan dengan surya tenggelam
Pejuang
Guci itu dibawa pulang saat siang di tengah kota
Para buruh menyeberang menenteng tas berisi kain untuk dipasarkan dengan harga
Di sini debu-debu menaburkan butiran tanpa pencitraan
Saat sampai di antrean
Dengan doa dan harapan
Guci bertuliskan lafaz Tuhan tercurahkan untuk di bawa pulang saudagar dermawan
Seorang balita berambut kucir setengah
Berbaju panjang terbelah di lengan
Mengiba bukan meminta
Sekotak tisu diulurkan pada para pencari di gedung-gedung berlantai tingkat
Sama-sama bertugas untuk kehidupan layak
Sementara saat kumandang azan
Mereka yang tak terlena
Ada di mesjid-mesjid tempat para hamba bermunajat
Pembatas Diri
Barang siapa
Yang terkejar
Akan kembali mengejar
Apabila tak memberitahu
Siapa lebih dulu
Menentang kebatilan
Damay Ar-Rahman atau Damayanti alumni Universitas Malikussaleh dan IAIN Lhokseumawe. Bekerja sebagai pegiat edukasi dan literasi. Karya-karya penulis yaitu Aksara Kerinduan (2017), Serpihan Kata (2018), Senandung Kata (2018), Bulan di Mata Airin (2018), Dalam Melodi Rindu (2018), Akhir Antara Kisah Aku dan Kamu (2020), Di Bawah Naungan Senja (2022), Musafir (2022) dan Hati yang Kembali. Tulisannya dimuat oleh berbagai surat kabar Indonesia dan Malaysia. Asal Aceh, Kota Lhokseumawe. Ig/Fb @damay_ar-rahman