MENUJU KHOTBAH
Gigil nasib
Peluh udara
Menghantar sepasang kaki
Untuk singgah dalam doa
Lumut-lumut dikilati matahari
Ngeras dan nempel di punggung batu
Seperti itu juga
Kutemukan keringat seseorang di pinggir jalan, pesing aspal, dan
Bising angkutan kota yang mengeringkan tenggorokan
Ia memandangi langit
Awan menjelma tubuhnya, dan
Dijadikannya cermin yang amat besar
Lalu kusaksikan matanya yang lepas
Terbang layaknya kupu-kupu
Menuju kubah dari segala cuaca
Menunggu khotbah selanjutnya
2019
INTIFADA
Lilin-lilin padam
Menjelma kemenangan bagi mereka
Saat bukit Golan tenggelam
Hari ini aku datang
Membawa Zaitun dan senjata kebebasan
Ke hadapan tuan-tuan
Di tepian barat Sabra
Kusaksikan ribuan maut berjejal
Tapi seorang malaikat membungkuk
Memberikan catatan ramalah
Suar usia menyala
Udara dingin rembet lewat jendela
Bayangan surga tandus
Terbit di ujung cahaya Palestina
2019
YANG BEGITU TERLELAP
Ma,
Ingin aku melihat engkau menyasak rambut lagi
Sambil bercerita hikayat Siti Zubaidah
Di antara bintang yang seperti mawar di taman
Pasangkan lagi kerudung di kepalaku
Lalu selesaikan cerita tentang Alibaba
Tentang hewan-hewan yang mengadu kepada Sulaiman
Sampai aku terlelap
Menyentuh bintang-bintang yang semakin dekat
Aku rindu bermimpi tentang sebuah sabana
Kupu-kupu dan lebahnya hinggap di bunga-bunga
Adakah aku kini
Seperti kapal kecil tanpa angin dan lentera
Ma,
Jangan kau tanya apa yang aku lihat kini
Wajah-wajah pias kapas
Di antara lempeng pagar rumah
Telah jadi mendiang sebelum pagi menjelma hutan pulau tak bertuan
Jangan memaksaku jadi penjelajah sungai lumpur darah
Di gurun pasir yang penuh puing-puing rumah
Jangan kau tanya lagi apa yang kulihat kini
Selalu saja kutatap orang-orang dengan bekas luka di pelipis dan rahang
Seorang bayi tak berdosa yang terbujur penuh luka
Helai rambutnya jatuh
Jadi bibit safron yang takkan pernah tumbuh sepanjang hayat
Ma,
Takwil hidup bagiku
Adalah sebatang ilalang
Yang dihempas gelombang laut
Menyisakan kepulangan
Tanpa pelabuhan
Tanpa binar matahari bulan purnama
2019
BUNGA MALAM
Dan telah datang padaku
Kabar dari padang bunga malam
Dari akar jejak linang
Seorang dengan teratai muda
Dan wajah yang masai
Dengan segelas purnama yang redup
Suaranya hening
Seperti gema di dinding-dinding bukit gagak
Matanya hunjam busur panah
Laila,
Sepasang matanya manik-manik hitam
Pukang kakinya humus pucuk siwalan
Mau ke mana engkau
Anak dara yang muncul dari relung entah
Amblas dari denting kecil kuil Sulaiman
Aku minta helai rambutmu
Yang riap beterbangan dari segala musim dan zaman
Malam ini,
Sambil menghayati kidung Rahani
Aku berada di atas kota yang kau akrabi berkali-kali
Buat Laila Khalid, 2019
ADERANG
Hutan dan suara angin
Menyenandungkan nyanyian
Aku mendengarnya
Saat menyusuri ribuan batu muara
Yang mulai pecah
Kerangas yang begitu jauh
Lalu ihwal napas yang berhenti berdawuh
Di sinikah Aderang bercerita
Tentang seorang pujangga yang tewas
Sebab cintanya lebih karam dari lamping Galunggung
Di malam terakhir
Dibuatlah sungai Malar
Menghanyutkan matanya
Dan digantinya dengan sepasang dari dara laut
Mendamparkannya di ufuk kabut
Dalam keheningan maha jauh
2019
Agus Salim Maolana lahir di Tasikmalaya, 21 Agustus 1997. Bergiat di HMJ Diksatrasia, dan BEM FKIP Unsil. Karya-karyanya dimuat di ramfest.com, langgampustaka.com. Menjadi Juara 1 lomba menulis puisi “SIFEST UNSIL” 2018, Juara 1 lomba menulis puisi “Minat Bakat Diksatrasia” 2017. Beberapa karyanya tergabung ke dalam antologi bersama. Menjadi penulis terpilih Band Marka Merah untuk merespons singel “ABADI” 2018.
Aktif di instagram @agussalimmaolana276, whatsapp 0831-8752-7274.