PUKUL 04:15
—pada Nina Setiawati, Ibuku
Pukul 04:15 doa itu ibu tiupkan
ke ubun-ubunku yang rentan
aku diantarkan sampai pintu depan
sampai keluar senyum khas ibu, tertahan
kutangkap maknanya sebagai ucapan
selamat jalan dan hati-hati di jalan, pelan
pelan kusimpan kesakitan demi kesakitan
demi sebuah kepergian
Pukul 04:15 kuucapkan terima kasih
atas kasih yang kuterima, tangannya yang bersih
kucium dan kugenggam penuh, bibirku mulai lirih
merafal doa masa kanak, ibu menerima segala perih
Pukul 04:15 ibu tetap dengan posisi semula
kendaraan yang akan memberangkatkanku, tiba
"Anakku, jika tak mampu mencintai, jangan pernah
pergi. Jadilah seperti yang kamu tulis, puisi”, itulah
pesannya agar di kota besar anak sulung tak merasa kalah
NIDA’
Di langit merah marun
canalisku hanya mendengar dzikir
Tuhanku biarkan jisimku bercengkrama denganMu*
Ketika Ismail menyeberangi Dijlah sepasang okulusku
tertancap dua belati
Pohon kurma membatu, awan ungu
seperti lakrimalismu yang gerimis
di selasa wage
Adalah gurun cengkar
stapesku semakin pecah, mendengar kembali
dzikir yang hatif
Kujadikan Engkau teman bercakap dalam jantungku*
Kebaqaan cintaku mengabadikan suara keledai
bejana bulan, dan tujuh belas sumpah
yang tersimpan dalam raka’at
seperti kaca matamu bergaris putih benang ihrom
Rabi’ah, kisahmu menambah bedak dan arang bagiku
Rabi’ah, mahabbahmu denganNya sujudku di langit ababil
* do’a Rabi’ah Al-Adawiyah
LIMA MENIT SEBELUM TIDUR
setiap kenangan tentangmu
kupanggil lagi
Aksen bicaramu, aku-kamu
bergelombang tak jelas titik temu
Mengingatmu seperti sebuah pulau
yang kehilangan auman harimau
Bilik ingatan, sebuah kenangan
menuliskan namamu yang kedelapan
SABTU HIJAU TOSKA
Kenapa sebuah lukisan
selalu melahirkan perasaan
yang tertunda?
Jemarimu
Di sabtu hijau toska, seekor kunang-kunang
di ujung jari penjahit, diam dan terbang
di langit tanpa kerudung
Perempuan rambut lurus
Sesungguhnya subuh yang baka
selalu melempar jarum suntik ke isi dada
Cinta
Adalah serigala yang melepaskan
amarah ngiaunya, mencakar
di wajah tirus lelaki
PEMETIK HARPA
Jemarinya adalah hujan
yang jatuh dari langit ajali
mekarlah tunas daun-daun
musim semi dan kupu-kupu ma’wa
seperti rindu yang menancap
di bumi, setelah 999 tahun tiada
kemarau memeluk jantung nilam
manusia, kemudian merasakan
bahwa ada sumur keabadian
di sana, sejak detik itu
aku makrifat
*Lima puisi di atas diambil dari buku kumpulan puisi berjudul ‘Mana Putih dan Mana Ajal’ karya Mohamad Chandra Ju.
Mohamad Chandra Ju lahir di Tasikmalaya, 17 April 1993. Menulis puisi, esai, menjadi aktor teater dan sesekali menyutradarai. Alumni Jurusan Teater, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Beberapa puisinya sempat dimuat di beberapa media massa, cetak dan online, juga dimuat dalam beberapa antologi bersama, lokal maupun nasional. Terlibat dalam banyak pertunjukan teater di beberapa kelompok teater