Warna Kematian
Dari langit dan laut, burung-burung berhamburan menapaki semak dan lereng bukit, memburu berabad-abad waktu yang tertanam olehmu, di kala petang, terang, siang, dan malam hitam yang menerkam tubuhmu di antara ceruk udara yang beku. Kau menyusuri hikayat dari lembah keganjilan, menanam pohon khayalan, dan membayangkan tubuhmu terbaring beralaskan teluk merah dengan warna kematian. Tak sedikit di sekujur tubuhmu, tumor-karang menjelma jalang yang merembah-menukas darah atau nadi petualang yang hidup, berlayar di sepenjuru jantung, atau rambutmu yang telah tanggal, ringkas oleh waktu yang kalap menculik umurmu dan memisahkan lisanmu dari nama Tuhan.
Aroma Hujan
Dalam cepat-lambat perjalanan, rel-rel, dan cerobong asap, menerorku dalam aroma hujan. Rusak ruang yang kau tahan, membawa menit-menit janggal dalam dokumenter atau piring hitam yang menyeruak - bisu. Aku mengubur-menggali tanggal yang terpendam dari jejak prasasti yang kau ukir dalam kamar dan menoreh bercak warna di tembok, bongkahan kubik dan kerayon yang berserak meninggalkan simbolik abstrak pada langit-langit keramik, dan seluruh album biru yang menjelma abu-abu ingatanku. Di gerbong, waktu-waktu panjang dalam gedung, dalam sejarah, dalam penjara, dalam lobi-lobi tanpa peta, serentak diam-sunyi, meninggalkan wujudku dalam bentuk doa.
Pulang
Di kepulanganku, waktu telah ramai meninggalkan tubuhmu dalam musim-musim ganjil, musim yang menguak umur, menguak air dari mata kedukaan, musim yang meninggalkan namamu dalam harum bunga-bunga yang tak kuramal, dan musim yang terlanjur kuhirup sembari sendu mengenang wajahmu.
Epilog:
Di sebuah akhir, waktu mengkhianatiku dalam bengis, dalam kejam, dalam seluruh kisah yang dirangkai Tuhan ataukah iblis yang menjelma kedukaan.
Sajak-Sajak Kata
Aku masih di sini
Dengan sebuah pena dan lembaran kertas
Duduk termenung, dengan berselubung sunyi yang melintas
Berimajima, dengan diperantara ukiran tinta beralas kertas
Aku masih di sini
Duduk diam, termenung, tanpa suara
Merangkai hati, yang rekah terbawa atma
Mengindahkan rasa, menyanubarikan jiwa
Aku masih di sini
Menulis sajak-sajak puisi, dalam sepi tanpa suara
Melihaikan jari, menyelaraskan rasa, di atas kertas putih tak bernoda
Menuangkan diri ini, ke dalam hanyutnya rasa yang menempa
Aku masih di sini
Mengarsipkan kenangan yang dulu pernah ada
Mungubur dalam, hati yang kini telah tiada
Dalam sebuah puisi, yang kian penuh makna
Terlalu lampau
Terlampau sudah deret waktu tuk mengutarakan maaf ini
Barisan lukalah menjalar ke sepertiga bagian hati yang tak terobati
Kecewa akan dirinya tak lagi bisa dianggap ringan sebelah hati
Mengkuadratkan rasa perih yang tak lagi lirih oleh melodi
Lara ini bukan lagi hanya sekedar ilustrasi
Mudah hilang dalam bilangan yang tak pasti
Hanya tinggal emosi yang kini leluasa menguasai diri
Sulit dibenahi hanya dengan rasa sesal yang terpatri
Angka nol mengisyaratkan dirinya tuk berhenti
Menghilang, lalu pergi, menjauh dan tak pernah kembali
Hati kecil yang terluka hanya bisa memanjatkan sebuah doa
Berharap rasa sakit ini tak lagi berkurang dan bertambah lagi
Dwi Saktya Hari Aditya, kelahiran Rasau Jaya,kalimanta Barat, tahun 2004. Seorang pegiat literasi puisi, cerpen. Karyanya tergabung dalam beberapa antologi bersama, media online, dan media cetak. Jejak bisa di temukan pada akun instagram @dwisaktya._.