Bawalah Hamba
Kala hamba melamun menjamah langit
Melihat sesuatu yang teramat jauh
Hamba tak bisa melihatnya dengan jelas
Seketika tibalah gerimis air mata
Mengalir mengasihani derita
Namun mengapa ini terasa berat?
Kumohon, mendekat
Kiranya sulit untuk diri hamba
Seakan itu memang sesuatu yang bias
Namun salah siapa sekarang?
Kuharap hamba selalu berada di saat itu
Tuhan,
Hamba ingat sekali kepada seorang anak kecil
Polos, lugu, serta malu-malu
Tetapi ia tak pernah ragu memanggil-Mu
Mencari-Mu, bahkan mencintai-Mu
Tuhan,
Di manakah anak kecil itu?
Bawalah hamba kembali kepada saat itu
Kepada jalan setapak kesukaannya
Kepada penunjuk ayat kesukaannya
Kepada saf kesukaannya
Kepada kopiah kesukaannya
Dan kepada kebiasaannya
Alangkah rindunya diri ini kepada saat itu
Sekarang jalan hamba banyak berlubang Tuhan
Berbeda sekali dengan saat itu
Sekarang hanya mautlah yang sangat dekat
Maka dari itu Tuhan
Meski hamba tak bisa melihatnya dengan jelas
Bawalah hamba kembali kepada saat itu
2023
Malam di Belantara
Seperti pada malam di belantara
Gelisah rasanya hidup ini
Tak ada yang kuhebat di dalamnya
Ya, aku tak tahu harus ke mana
Semua tampak gelap, semua membingungkan
Aku pun ragu harus melangkah ke mana
Aku takut akan kesunyian, takut akan kegelapan
Lantas pada siapa lagi aku percaya?
Bahkan bulan yang terang pun tak memberiku petunjuk
Tak ada bintang yang menemani di sekitarnya
Tak ada teman yang peduli kepadanya
Haruskah aku memercayai bulan?
Yang hanya bergerak mengikuti diriku yang penuh kebingungan
Aku pikir sia-sia mencintai bulan
Dia sendiri pun tak bisa mencari jalan
Namun
Betapa bodohnya aku, Tuhan
Bulan tidak takut akan kegelapan
Bulan tidak takut akan kesepian
Bulan hanya takut cahayanya menghilang
Bulan hanya takut cahayanya tak bisa menerangi malam
Dan bulan, hanya takut hilang dari kehidupan
Begitu pun aku pada malam di belantara ini
Apa yang aku bingungkan?
Apa yang aku ragukan?
Ya qamar, sang penerang malam
Kumohon terangilah malamku di belantara ini
Dan izinkan aku berkata
Aku mencintai diri ini.
Januari, 2024
Doa untuk Rembulan
Pada saat aku memejamkan mata
Menarik nafas sedalam samudra
Memikirkan perihal rembulan
Aku pun terbangun
Menghembuskan nafas sambil tersenyum
Menyaksikan indahnya lukisan Tuhan
Mencoba menafsirkan segala tatapan
Mencari celah membaca keindahan
Namun tak kutemukan segala jawaban
Hingga aku tersadar
Bulan yang aku mimpikan
Bukanlah bulan yang menghilang di kala siang
Bukan pula bulan yang terhitung lalu dikumpulkan
Tetapi bulan yang kumimpikan itu
Tentang sesuatu yang tak kumengerti
Tentang sesuatu yang tak kupahami
Dan tentang sesuatu yang terus aku cari
Sampai pada akhirnya aku amati
Agar diriku bisa bersanding bersamanya
Untuk selama-lamanya
Juli, 2024
Sementara
Jika kau adalah rembulan
Aku memilih untuk memandanginya
Karena aku terlalu jauh untuk menyentuhnya
Jika kau adalah hujan
Aku memilih untuk tidak berteduh
Tetapi aku takut akan kedinginannya
Jika kau adalah mutiara
Aku memilih untuk menjaganya
Namun aku tak sanggup untuk membelinya
Dan jika kau adalah hidup
Aku memilih untuk bertahan selamanya
Sedangkan aku akan mati pada akhirnya
Mei, 2024
Bunga Terakhir
Entah berapa kali terakhir yang kuucap
Kuharap kau selalu tumbuh
Menemani jiwamu yang sepi
Yang menerjang semua banjir bandang
Dengan serbuk sari yang berjatuhan dari awan
Dan di pinggiran kota
Kuharap kau bermekaran
Mengacungkan moncong senjata
Pada kaum tirani yang berbohong seperti lapisan bulan
Yang dari dekat tampak tidak repang
Tetapi,
Tetaplah di sana bunga terakhirku
Di antara dekatnya jarak penglihatanku
Kuharap aku bisa memandangmu
Hingga akhir hayatku
Agustus, 2024
Guyon Parikena-ku
Setiap kebebasan diikatkan selalu kerisauan
Butir-butir yang kau gundukan dari sepotong roti
Bercerai-berai menjadi satu rindu, satu benci
Bunga-bunga kian berguguran, terbakar
Aku mengisap kepasrahan
Bukan pada mataku, jenguklah langkahmu
Kau, seperti udara yang terangin-angin derita
Yang dulu aku terperosok pada teka-teki cinta
Akurat rasanya bila aku bilang kau hebat
Tetapi cinta, jauhi diriku, aku egois
Karena hanya jantungku yang berdebar
Bila kau mencium kebebasan
September, 2024
Aditia Magi, Petani yang memainkan peran sebagai mahasiswa dan anggota UKM Teater Awal Bandung, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Akun Instagram : @aditrrn