Isyarat
segalanya akan menipis segera
dan hanya
menyisakan sedikit kata-kata sempit
begitu juga lambung berhenti basah
dan sulit
mengatakan aku sedang sakit
kau benahi selimut jatuh
saat gigil malaria menyengat
kuraba kembali tepukan kecil itu
sebelum meninggalkan pemberhentian tercepat
entah dari mana kata separuh rumpang
separuh rampung menyentuh layar mataku
aku hendak menjadi peneduhmu
sayang kepak kupu-kupu lebih dulu diambil siang
Sungai
menyasar barat
petang tak buat kita takut tersesat
punggung ini haus sentuhan
kecuali daun jatuh, janganlah beralih dari arus tubuhku
pasir mungkin menyimpan sejarah jantan
tentang bagaimana sepasang kekasih
sebelum kita, memaknai perang sebagai kekalnya perjuangan
tetapi lihatlah, air sungai ini melarungkannya juga
tak ada apa-apa dan itu yang kita dapatkan
Fragmen
bila sampai batasnya
siapa pun tahu keterasingan
bermesra dengan bukan hanya satu tepian
tiada bel berbunyi
begitu nyaring
di ruang yang mungkin
kutinggalkan kamar. pintu-pintu bersaran keluar
di mana setapak ke hutan belakang
dan pelan ingatan menempuh asam
pada bakal sebuah rawa
aku melihat
(mayat-mayat tergantung
buruh kehilangan anaknya
tambah orang kafetaria)
langit sering memperungu bayanganku
kenyataan semuram keterlanjuran itu
kabut pun turun merebah
kebekuan seperti jauh ke sana
pada repas tertentu siapa pun tahu
keindahan “Requestion in Pace” itu bukan kepunyaan
damailah, dalam persekutuan orang-orang kalah.
Transparan
Dengan mengingat
dingin sepanjang musim
Shaichiao, luka-luka itu
Kujenguk—
betapa pun lekas terantuk
tubuhku, taman tempat engkau menunggu
Terdengar dari patah-patah
bunyi angin menyelisih
Selamat hari minggu
kataku
akankah sunyi berakhir di lipatan kelopak matamu
Kemudian hening
berbaris tak kelihatan
dan kembali hanya mempertebal yang telah berulang terjadi
Seseorang enggan memenggal lengannya
antaran ia ingin melukainya, selalu
Jika tak kau temukan kepedihan itu
Shaiciao,
Reruntuhan
aroma kematian
merebak di lesap wajahku
merayu
menggebu
dalam lepas berbaring menunggu
barangkali, sampai akhirnya
tiada seorang merebut ia dari padaku
terlipat doa-doa
kukatakan itu seperti lama tak bertemu
mungkin makin dingin
lalu putus oleh hembus angin
waktu pun jatuh timpa tubuhku
ruang ini sepi dan mengingkari
aku ingin rebah tanpa menolak lagi
Insomnia
kecemasan ini ranjang tua yang robek rupanya
tiap kembali cedera bertempat
masa kecilku memang minta didekap
segera datang malam dan diam menikam
tepat setelah bunyi kerat
kulepaskan segala yang hangat
kalau saja
sudut yang terbuka tak mencetuskan luka
tak perlu kukhianati kematianku sendiri
Plasma
sepi tubuhku plastik
terbang di tengah langit mayang
kau, satu-satunya yang ingin kutemui
dan sudah sekian lama kita tidak berbincang
petang menjepit
hilang tinggal di jalanan
pernah tiba-tiba kau merasa perlu
menghitung detak jantungmu
seolah telah kau lekat telapak tangan
menjelang kesunyian berdebu-debu
di mana nafas akan perlahan terputus
tak berulang sampai lima
bapa, lepaslah
menyerah membuka mata kita
Zefanya Manullang, lahir di Jambi 21 November 2023. Ia mulai aktif berteater dan menulis sejak bergabung dengan komunitas Teater Art in Revolt (AiR) Jambi. Tulisannya telah dimuat di media cetak dan media daring Jambi. Naskah monolog terbaru yang ia tulis dengan judul “Sicklose” telah dipentaskan dalam gelaran Dapur Lab Teater Ciputat 2024. @Sicklosee (Instagram)