SUNGAI DARAH DI ANTARA KALIMAT YANG BERGERAK
kucatat kesedihan dan nama-nama para dewa yang jatuh, bunyi degup menggema, kau lambaikan air matamu yang hijau ke selembar daun dengan luka yang jatuh
seketika waktu berlarian terbalik, jendela membuka sebuah tabiat dari kesakitan yang melolong lalu menumbuhi langit-langit dengan rambut yang lebat
kudengari hari peperangan dari sekelebat suara kuda, halaman hanyalah penyubur sunyi dari masa lalu, kakiku berdetak-detak ketika sepasang angka membuka pintu kabut dari hutan-hutan yang takut, di sana;
hanya gerak burung beterbangan dengan sepasang sayapnya yang patah, udara gemetar, tuhan jatuh dengan kepalanya yang putus
sungai darah di antara kalimat yang bergerak, suatu pagi beku, matamu menggerakkan masa depan di sebalik meja patah yang memercikkan bintang-bintang yang kembali pulang menuju menara
Surabaya, 2022
WISUDA TUBUH
Dhanang Pradipta
meja-meja tersusun dengan rapih di dalam kepala kami, suasana hujan dan kemarau panjang, terlampir kan melalui powerpoint penuh dengan tulisan, kata-kata diam dan tersembunyi di balik tubuhku yang ringkih, tanganmu menyembunyikan matahari di mataku, lalu ikan-ikan berenang menuju puncak gunung meloncati awan dan berubah menjadi naga, kami mengenali bahasa kami sendiri sebagai mimpi dan sorga bagi para pelancong dari negeri jauh dan tak dikenali, ilmu bisa di dapat hingga negeri cina, lelangit memicingkan matanya hingga ke dasar kolam penuh dengan kesunyian, namun diruang kelas, lelawa menyibukkan dirinya karena tak mengenali dirinya sendiri, lalu, jendela sanksi terhadap kami, papan putih menepukkan pundaknya kepada kepala kami yang memutar, mata kami melihat kami sendiri, kau bergoyang, matamu bergoyang, masa depan bergoyang, masa lalu seperti duduk di kursi, menahan dan menarik mimpi seperti meja rias dan transaksi jual beli, kemanakah kita dapat mengenali ruang dialektika yang mirip seperti kapur jenazah putih? apakah pendidikan seperti artefak yang ditemukan melalui kamar mandi? kami menunggu kehidupan di masa depan dengan cemas dan tertidur di dalam mimpi kami
Surabaya, 2021
KAU BERSEMBUNYI DENGAN NAMA ANAK TUHAN, CHAIRIL
aku di sini membangun monumen tubuhku yang melihat jauh kepergianmu, hutan tumbuh dari mimpiku, kekilauan seperti padi yang menguning dari pipimu, aku di sini
sedang hari menjadi makin sore, melayarkan kesedihan menapaki terjal perjamuan lingkar merah pada kuburan, aku di sini, matahari semakin kian gelap juga mataku yang menunggumu melampaui penantian apapun
hujan bergelimpangan
dimana aku menemui jejak-jejak dari sebuah jalan-jalan bebatu sedang tubuhmu ringkih menumbuhi sembilan puluh sembilan duri dari mawar yang ditumbuhi belatung?
aku tak pernah sampai, begitu pula aku di sini, lelautan hatiku berubah menjadi lukisan yang paling dimengerti siapa saja
kukenali sebagian rerumputan hijau sebagai dirimu yang menghening seperti nisan, menyanyikan mimpi berwarna hijau yang sibuk mengenali kenakalanmu terhadap bahasa
hari semakin jatuh, aku tetap di sini, menatap kejauhan melampaui kegamangan dan sorga menetap di dalam lampu-lampu jalan meminjami tangan dan pundak penuh nanah
aku di sini telah bersembunyi namun kau bersembunyi dengan nama anak tuhan yang terbang-terbakar nyala matahari, sebagai binatang jalang yang menemani angsa putih berlarian
Surabaya, 2022
PADAMKANLAH SEGALANYA! MESKI KEHAMPAAN LEBIH BISING!
apa yang kulihat dari diriku sendiri dalam ketakmampuan langitku yang biru tumbuh dalam wujud sewujudnya dirimu?
nisan dari kesedihanku terbangun, daun dalam kesendirian membayangi riak air matamu, udara dari daging kehampaan terus mendekat lalu mencintai kegelapan pekat pinggulmu yang menggulirkan kematian
di mana kita musti mengetahui kematian dalam goa gelap dan kesendirian-kesendirian?
lautku menggenang, luka terbaring menghajar bumi yang kerap berderap seperti anjing mengeluarkan liur, mengumandangi pilar-pilar dari kelopak kesucian farjimu
kita tak sendiri, lengkung camar, liang ataupun lekukan telah menanjak menuju keabadian yang disematkan mataku, keraguanmu seperti cermin masuk ke dalam mimpi dari sebuah alam yang memberikan desah dari balik kebisuan
padamkanlah segalanya! meski kehampaan lebih bising! lebih bising dari matamu!
berjalanan di pojok ruang, kau adalah burung yang tersembunyi dalam keheningan yang menggumpal di luar angkasa, memendam api dari matahari, bercakap dengan bahasa patah pada gelombang hujan
kisah-kisah terbentuk menuju dalam cermin seperti keraguan waktu yang mengekal kehilangan dibutakan sejarah kosmos dalam angin dan pertanda ruh pigura masa lalu yang hilang
Surabaya, 2022
BAHASA DI BELAKANG KABUT BERDARAH
bahasa di belakang kabut berdarah menapaki igauan memancarkan sepasang kucing yang bergerak dari rumah menuju rumah bertangga dari awan mendung melingkari kesedihan dan menjatuhkannya kepada air yang menutupi rawa-rawa peradaban juga lampu mercusuar hinggap sampai kota dan desa-desa memejamkan matanya pada kematian menginjaki kulit separuh sayap beterbangan lalu kepedihan mencari jalan dari sudut-sudut persimpangan yang tidak pernah ditemui siapapun juga pohon-pohon tumbuh menjulang ke atas lalu ke samping ketika angin terbangun dari sayapnya yang menggelepar lepaslah bau angin sorga kepada mataku lalu hidungku lalu telingaku sesampainya tuhan merubah dirinya menjadi waktu yang bolong merobeki peradaban membuangnya menuju dunia yang lain tertanamlah sebuah gedung-gedung dengan jendela juga pintu lahirlah manusia disana tarian-tarian yang menggema masa kecilku tak mampu menahan panas matahari hingga terbakar tak menyisakan darah
Surabaya, 2022
Adnan Guntur, kelahiran Pandeglang tahun 1999. Telah menyelesaikan studi di Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga. Aktif berkegiatan di Saung Teater, Teater Gapus Surabaya, Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) , Bengkel Muda Surabaya, Wara-Wara Project, dan Arek Institute. Kumpulan Puisi ( Tubuh Mati Menyantap Dirinya Sendiri, Pagan Press, 2022) dan Kumpulan Lakon, Tubuh di Pukul 11.11 , Pagan Press, 2022)