Judul: Telor Ceplok
Penulis: Indra Rahayu, Ine Rahmatunnisa, Euis Suryaningsih, Ilham Sirojudin, Agustin Wita, Rojibah Sirri Shofia Zahri, Robby Dwi Prasetya, Wildan Faiz, Annisa Firsty, Silva Zent Nurbayani
Buku: 188 halaman | 13 x 20 cm
Tahun: 2024
Residensi penulisan sastra DAN FESTIVAL SASTRA
Yayasan Langgam Pustaka Indonesia dan Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi
Puisi-puisi yang terkumpul dalam buku ini hasil dari proses workshop penulisan. Dalam sebuah workshop biasanya terjadi pergesekan kreativitas baik antar sesama peserta maupun dengan pembimbing. Pergesekan ini menjadikan puisi yang ditulis akan mengalami aktualisasi dan penyegaran, baik dalam ungkapan maupun isi.
-Acep Zamzam Noor, penyair
Saat kita masih heran dan terpesona pada manusia, puisi masih mungkin ditulis. Demikianlah saya kembali merasa heran pada manusia, saat menjelujuri puisi-puisi para penyair muda yang terpilih dalam Residensi Sastra Komunitas Langgam Tasikmalaya ini. Tampak sekali para penyair muda ini sangat intens bergumul dengan beragam tema, bertungkus-
lumus dengan diksi, berkelejatan dalam mengutarakan sesuatu yang tak terkatakan. Puisi-puisi bergerak dari yang romantis hingga yang religius, yang sedih hingga yang marah, riang atau murung atau keduanya sekaligus. Meskipun kadang masih terperangkap dalam klise atau keumuman, tapi saya menangkap keseriusan mereka dalam belajar. Keseriusan itulah yang menggembirakan saya.
-Tia Setiadi, penyair
Saya menyimpan dua harapan kepada mereka yang menulis puisi dalam antologi ini. Pertama ihwal antusias dan gairah mereka menulis puisi yang bukan sekadar. Karena menulis puisi bukan sekadar, ujian berikutnya bagi mereka tak lain soal intensitas dan konsistensi, dan ini paling penting dari harapan sebelumnya.
-Budi Riswandi, penyair
Meminjam diksi penyair Indra Rahayu, saya menyusuri seluruh perasaan dalam kumpulan puisi ini. Gelagapan memang, tapi saya menemukan gelagat kelahiran para pengembara kata-kata. Gelagapan memang, tapi ada yang memendar dari tubuh puisi-puisi ini, menelisik ruang batin setiap pembacanya. Gelagapan memang, tapi peristiwa-peristiwa dalam genggaman mereka, sekarang.
-Yana S. Atmawiharja, penyair